Dalam rangka memperingati Hari Kartini, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menggelar Dialog Publik bertajuk "Jalan Terjal Kepemimpinan Politik Perempuan di Era Pemerintahan Prabowo". Dialog ini menjadi ajang refleksi mendalam tentang tantangan serius yang dihadapi perempuan dalam meraih kepemimpinan politik di tengah dinamika geopolitik global dan nasional yang kian kompleks.
Titi Anggraini, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan mantan Direktur Perludem, menyoroti bagaimana kondisi saat ini memperlihatkan penurunan kinerja demokrasi, anti korupsi, dan kesetaraan gender di Indonesia. Mengacu pada data dari The Economist Intelligence Unit, V-DEM, Transparency International, dan World Economic Forum, Titi menegaskan bahwa pemusatan kekuasaan serta melemahnya fungsi kontrol telah melahirkan kebijakan yang elitis dan tidak akuntabel.
“Kita melihat praktik legalisme otokratis, pelanggaran terhadap komitmen CEDAW, serta lemahnya implementasi kuota gender dalam pencalonan legislatif,” ungkap Titi di Jakarta, Selasa (29/04/2025).
Ia juga menekankan adanya politisasi terhadap lembaga peradilan dan independensi negara yang kian terkikis, diperparah oleh politik biaya tinggi, transaksi kekuasaan, hingga politik dinasti yang semakin menguat, meminggirkan aspirasi politik perempuan.
Pada kesempatan yang sama, Dr. Ida Budhiati, mantan Komisioner KPU RI, dalam paparannya, mengingatkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum demokratis harus menegakkan prinsip pemilu berkala, kebebasan berpendapat, dan pengadilan yang independen. Namun, realitas sosial menunjukkan adanya hambatan besar bagi perempuan untuk mencapai kesetaraan akibat konstruksi sosial yang menempatkan perbedaan gender secara diskriminatif.
“Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 menegaskan hak atas persamaan dan keadilan, namun pelaksanaannya masih perlu diperjuangkan,” tegas Ida.
Ia mendorong adanya pembaruan Undang-Undang Partai Politik, termasuk penguatan sistem partai, demokratisasi internal, transparansi keuangan, peningkatan keterwakilan perempuan, serta pendidikan politik yang berkelanjutan.
Sementara itu, Ray Rangkuti, pengamat pemilu, dalam diskusi tersebut menyoroti makin maraknya politik dinasti di Indonesia. Ia mengkritisi bagaimana perubahan regulasi memungkinkan dinasti politik berkembang subur, menciptakan ketidakadilan bagi perempuan dan calon pemimpin di luar jaringan kekuasaan.
“Satu-satunya yang meningkat adalah dinasti politik. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi substantif,” jelas Ray.
Ia mengingatkan bahwa demokrasi idealnya memberikan ruang yang luas bagi calon pemimpin untuk tumbuh dari bawah, bukan dari privilese keluarga politik. Fenomena dominasi ketua umum partai sebagai tiket politik juga mulai bergeser, membuka peluang baru sekaligus tantangan tersendiri.
LBH APIK melalui dialog ini mendorong agar momentum Hari Kartini bukan hanya perayaan seremonial, tetapi menjadi panggilan konkret untuk memperjuangkan kepemimpinan politik perempuan yang berintegritas di era baru pemerintahan.
Dengan memperkuat peran perempuan dalam politik, Indonesia dapat mewujudkan demokrasi yang lebih adil, inklusif, dan representatif.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto