Duta Nusantara Merdeka | London
Delegasi Mahkamah Agung RI yang terdiri dari YM Ketua Kamar Perdata I Gusti Agung Sumanatha, SH., MH , Kepala Biro Hukum dan Humas, BUA MARI Dr. Sobandi, SH., MH dan Staf Khusus Ketua Mahkamah Agung RI Dr Aria Suyudi, SH., LLM berpartisipasi dalam kunjungan kerja Reformasi Sistem Peradilan Terpadu Berbasis Teknologi Informasi dan Reformasi Ekonomi ke London, 16-19 September 2024 lalu.
Kunjungan ini merupakan inisiatif Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenko Polhukkam) dalam rangka koordinasi dua agenda prioritas nasional, yaitu Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) dan Reformasi Hukum Ekonomi.
Delegasi SPPT-TI dipimpin oleh Brigjen (Pol) Moh. Syafrial, Sekretaris Deputy Koordinasi BIdang Hukum dan HAM Kemenko Polhukkam, sementara delegasi Hukum Internasional dipimpin oleh Brigjen (TNI) Dr. Arudji Anwar, plh Deputy Bidang Koordinasi Hukum dan HAM dan Asdep Bidang Koordinasi Hukum Internasional.
Selain Mahkamah Agung RI hadir juga perwakilan Kementerian/ Lembaga yang terdiri dari perwakilan dari Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham RI untuk agenda SPPT-TI, serta perwakilan dari Direktorat Jenderal AHU Kemenkumham.
Kunjungan SPPT-TI
Criminal Justice Delivery Dashboard
Kunjungan SPPT-TI difokuskan untuk mempelajari Criminal Justice Delivery Dashboard (CJS Delivery Dashboard) (https://criminal-justice-delivery-data-dashboards.justice.gov.uk/).
Diskusi tentang CJS Delivery Dashboard dipusatkan di Ministry of Justice Inggris dengan menghadirkan nara sumber dari berbagai satuan kerja, seperti dari Kantor Penuntut Umum, Kantor Pengadilan dan pihak relevan lainnya.
CJS Delivery Dashboard merupakan situs pemerintah Inggris yang memuat data penanganan tindak pidana . Pemerintah Inggris membangun dasbor ini untuk meningkatkan transparansi, meningkatkan pemahaman tentang sistem peradilan, dan mendukung kolaborasi, khususnya di tingkat lokal melalui Badan Peradilan Pidana Lokal (LCJB). Dasbor ini menyatukan berbagai data peradilan pidana.
Dasbor ini memberikan gambaran umum tentang sistem peradilan; dari saat kejahatan dicatat oleh polisi, hingga saat kasus diselesaikan di pengadilan.
Data dalam dasbor diunggah tiap kuartal oleh elemen penegak hukum yang meliputi Kantor Penuntut Umum, Kepolisian, dan Pengadilan.
Dashboard ini mencakup tiga area prioritas untuk sistem peradilan pidana yaitu, meningkatkan ketepatan waktu, meningkatkan keterlibatan korban, dan meningkatkan kualitas peradilan.
Salah satu keunggulan CJS Delivery dashboard adalah fleksibilitas kepada pengguna untuk menghasilkan grafik informasi sesuai kebutuhan, sehingga pengguna bisa memperoleh gambaran lebih detail tentang kinerja sistem peradilan pidana yang ada.
Secara umum fungsi layanan semacam ini relevan dengan apa yang dilaksanakan oleh SPPT-TI dalam mendorong kebijakan berbasis data dan bukti yang diperoleh dari informasi yang dipertukarkan dalam SPPT-TI.
Aplikasi Common Platform
Sebagaimana pengalaman SPPT-TI di Indonesia, maka pada masa lalu setiap lembaga penegak hukum memiliki sendiri solusi Teknologi Informasi penanganan perkara mereka, namun sejak 5 tahun belakangan, mereka mulai melakukan penyempurnaan, dengan merintis interoperabilitas, dan standar bersama penggunaan aplikasi mereka, dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi administrasi perkara. Mereka juga melakukan penyesuaian untuk memenuhi standar desain digital delivery pemerintah. Salah satunya adalah dengan penggunaan common platform.
Common Platform adalah sistem manajemen perkara digital. Sistem ini membantu pengguna mengelola dan berbagi informasi kasus pidana secara lebih efektif.
Ini termasuk staf HMCTS, lembaga peradilan, dan pengguna pengadilan profesional seperti pengacara pembela dan Penuntut Umum
Setiap pengadilan Negeri dan magistrat kini memiliki akses ke sistem 'Common Platform', yang akan memungkinkan berbagi informasi yang lebih cepat dan lancar antara semua pihak yang terlibat dalam kasus peradilan pidana.
Di bawah Common Platform, semua materi perkara yang relevan akan tersedia di satu tempat yang dapat diakses di semua pengadilan pidana – mulai dari penangkapan atau dimulainya proses hingga persidangan dan, bagi mereka yang dihukum, hingga ke lembaga pemasyarakatan dan masa percobaan.
Ini akan membantu memastikan bahwa pengadilan, polisi, jaksa penuntut Non-Polisi lainnya, dan profesional hukum memiliki akses ke satu platform untuk melacak kasus yang bergerak melalui sistem peradilan, melanjutkan langkah menjauh dari proses berbasis kertas yang memakan waktu dan sistem TI yang terpisah.
Ini adalah bagian mendasar dari rencana pemerintah untuk memodernisasi sistem pengadilan pidana, menyatukan mitra peradilan dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya, meningkatkan kolaborasi, dan mengganti proses yang sudah ketinggalan zaman.
Langkah ini akan menawarkan aliran informasi yang lebih baik antara pengadilan untuk meningkatkan efisiensi dan membantu mengurangi beban kasus yang tertunda guna memberikan keadilan yang lebih cepat bagi para korban dan masyarakat.
Kunjungan ke Penjara Maidstone Prison
Delegasi juga berkesempatan untuk mengunjungi Maidstone Prison, sekitar 1.5 jam dari London.
Maidstone merupakan penjara penting yang digunakan untuk menampung Narapidana asing yang menjelang dilepas kembali ke negara mereka. Penjara Maidstone memiliki fasilitas seperti bengkel kerja dan merupakan basis produksi pencetakan formulir kedinasan penjara Inggris.
Reformasi Hukum Ekonomi
Eksekusi Perdata
Dalam rangka reformasi Hukum Ekonomi delegasi melakukan kunjungan kerja ke Standing Internasional Forum of Commercial Court (SIFOCC) dan Mahkamah Agung Inggris. SIFOCC adalah forum kerjasama multilateral antar pengadilan. SIFoCC sendiri berbasis di Supreme Court England & Wales di London.
Sejak berdiri tahun 2017, SiFOCC telah melakukan 5 (lima) kali melakukan pertemuan, di London (2017), New York (2019), Singapura (2021), Sydney (2022) dan Doha (2024). Mahkamah Agung RI sendiri telah menjadi bagian dari SIFoCC sejak 2022 dengan kehadiran di pertemuan SIFoCC ke 4 di Sydney dan ke 5 di Doha.
Saat ini SIFOCC beranggotakan 58 negara, dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggota terbesar. SIFOCC bertemu setiap 18 bulan sekali, namun diantara itu membuka kemungkinan untuk terus melakukan dialog, dan pertemuan.
Mahkamah Agung RI adalah Lembaga yang bertanggung jawab untuk indikator pelaksanaan dan penyelesaian putusan dalam rangka meningkatkan kemudahan berusaha untuk mewujudkan reformasi hukum ekonomi.
Pada peringkat Kemudahan Berusaha terakhir, Inggris Raya ada di peringkat 8 sedangkan untuk penegakan kontrak sendiri ada di peringkat 34. Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan indikator kemudahan berusaha di Britania Raya sudah berjalan dengan baik.
Saat ini, peringkat kemudahan berusaha sudah dihapus oleh Bank Dunia dan pelaksanaan B-Ready juga belum berjalan sepenuhnya, sehingga perlu masukan untuk kebijakan yang keberlanjutan dalam mendukung kemudahan berusaha di Indonesia khususnya dalam meningkatkan iklim investasi.
Delegasi diterima oleh Justice Robin Knowles, Hakim pada Commercial Court of London yang juga penanggung jawab SIFOCC dan Adenike Adewale Kepala Sekretariat SIFoCC untuk membicarakan berbagai aspek reformasi eksekusi hukum perdata. Salah satu topik yang dibahas adalah mengenai harmonisasi prosedur eksekusi putusan asing tentang pembayaran sejumlah uang.
SIFOCC menerbitkan Multilateral Memorandum for Enforcement of Foreign Money Judgment, yang merupakan memorandum yang dibuat oleh tidak kurang 30 negara anggota SIFOCC tentang bagaimana pelaksanaan eksekusi putusan asing tentang Pembayaran Sejumlah Uang.
Publikasi ini penting, sebagai sarana untuk melakukan harmonisasi terhadap pelaksanaan putusan pengadilan asing yang sifatnya sederhana.
Melalui publikasi ini pembaca bisa melihat prosedur yang jelas di setiap negara tentang bagaimana eksekusi sederhana atas sejumlah yang yang harus dibayar, maka sedikit banyak akan memudahkan proses pengakuan putusan asing di yurisdiksi lain.
Usulan pendekatan dari SIFOCC adalah, sepanjang putusan asing itu dapat dinilai dengan uang (tidak terkait dengan putusan terkait property yang ada di negara penerima) maka putusan asing tersebut diperlakukan sebagai utang yang harus dibayar oleh debitur, sehingga penagihannya tidak memerlukan gugatan baru tentang pokok perkara, namun cukup gugatan untuk menagih sejumlah utang yang sudah jatuh tempo dan dapat dibayar di yurisdiksi ttempat debitur sebagaimana apabila utang itu merupakan utang yang sah berdasarkan hukum lokal.
Tentunya ini dengan tetap memberikan kesempatan bagi debitur untuk melakukan perlawanan, sepanjang memang ada hal-hal yang dianggap perlu diperhatikan, misalnya apabila ada kecurangan, pemalsuan dan lain sebagainya, yang memungkinkan pengadilan untuk tidak memberikan eksekusi terhadap putusan tersebut.
Sir Robin Knowles menjelaskan bahwa sudah ada 30 negara tersebut memiliki prosedur untuk melakukan pelaksanaan putusan asing tentang pembayaran sejumlah uang.
Ini penting, karena dengan adanya publikasi ini, mengeliminasi kebutuhan tentang adanya perjanjian bilateral, maupun multilateral untuk memperoleh pelaksanaan putusan komersial dari pengadilan asing yang sifatnya sederhana.
Mahkamah Agung Inggris dibentuk bulan Oktober 2009, yang menggantikan Komite Banding House of Lords sebagai pengadilan tertinggi di Inggris Raya. Mahkamah Agung Inggris memiliki 12 orang Hakim Mahkamah Agung mempertahankan standar tertinggi yang ditetapkan oleh Komite Banding, tetapi sekarang secara eksplisit terpisah dari Pemerintah dan Parlemen.
Pengadilan memeriksa banding atas questions of law yang dapat diperdebatkan yang paling penting bagi publik, untuk seluruh Inggris Raya dalam kasus perdata, dan untuk Inggris, Wales, dan Irlandia Utara dalam kasus pidana.
Reformasi Kerangka Arbitrase Nasional
Delegasi juga mengunjungi Wilmer Cutler Pickering Hale & Dorr LLP (WilmerHale) London untuk mengadakan dialog tentang peluang reformasi kerangka hukum arbitrase Indonesia dari perpektif Internasional.
WilmerHale memiliki pengalaman luas dalam memberikan bantuan teknis kepada negara yang ingin menyempurnakan kerangka hukum arbitrase mereka, seperti Timor Leste dan Fiji. Secara umum WilmerHale mengapresiasi bahwa kerangka hukum Arbitrase di Indonesia sudah cukup maju dan sesuai dengan praktek terbaik yang ada, bahkan dengan adanya Perma Nomor 3 Tahun 2023 tentang Tentang Tata Cara Penunjukan Arbiter Oleh Pengadilan, Hak Ingkar, Pemeriksaan Permohonan Pelaksanaan Dan Pembatalan Putusan Arbitrase menunjukkan bahwa Indonesia memiliki atensi khusus terhadap arbitrase.
Selanjutnya WilmerHale juga menunjukkan bahwa arbitrase merupakan pasar yang dinamis, dan saat ini pasar arbitrase komersial di dominasi oleh tiga yurisdiksi arbitrase utama, yaitu London, Singapura dan Hong Kong. Indonesia memiliki peluang untuk menjadi hub bagi pilihan penyelesaian arbitrase di kawasan Asia bagi sengketa hukum kontinental. Karena saat ini baik London, Singapura dan Hong Kong adalah yurisdiksi Hukum Common Law.
Dalam diskusinya WilmerHale menyampaikan peluang untuk menyempurnakan beberapa ketentuan dalam UU 30 Tahun 1999 misalnya pasal 10 terkait penerapan prinsip kompetenz-kompetenz, klarifikasi tentang peran pengadilan dalam mendukung proses arbitrase (pasal 13, 59-69, dan 70), peran pengadilan untuk memberikan interim-relief (pasal 17H, 32), pemberian pendapat hukum mengikat (pasal 52, 53), konsep keadilan (pasal 56), penyederhanaan prosedur pembatalan putusan arbitrase (pasal 67 (12)), 70). (Arianto)