Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan diajukan oleh Terence Cameron, Raihan Husnul Wafa, dan Wildan Nurmujaddid Erfan. Sidang Pengucapan Putusan Nomor 91/PUU-XXII/2024 ini digelar di MK pada Selasa (20/8/2024).
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah yang membacakan pertimbangan hukum putusan menyebutkan konteks pengujian konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada yang dimohonkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan anggota legislatif yang akan maju di Pilkada diwajibkan untuk mengundurkan diri berpotensi akan merugikan rakyat di daerah pemilihan anggota tersebut, karena jika seandainya anggota legislatif tersebut kalah di Pilkada, maka rakyat akan kehilangan figur pemimpin berkualitas yang dapat memperjuangkan kesejahteraan mereka baik jika figur tersebut menjadi anggota legislatif maupun menjadi kepala daerah sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon adalah tidak berdasar dan bahkan dapat dikatakan berlebihan, karena di samping anggota legislatif dan kepala daerah memiliki tanggung jawab kepada konstituennya secara berbeda-beda, juga belum tentu anggota legislatif yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tersebut, akan digantikan oleh calon anggota legislatif yang tidak kredibel atau tidak kompeten dan tidak mempertanggungjawabkan jabatan yang diembannya kepada masyarakat yang berada di daerah pemilihan anggota legislatif yang mengundurkan diri tersebut, karena hal yang demikian kembali lagi kepada integritas dari wakil-wakil rakyat tersebut (individu dari para wakil rakyat) dalam melaksanakan amanah yang diembannya.
Lagipula, calon anggota legislatif yang akan menggantikan anggota legislatif yang mundur tersebut pasti sudah melalui pertimbangan dan seleksi dari pimpinan partainya sehingga dianggap layak untuk menggantikan anggota legislatif yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Di samping itu, kinerja anggota legislatif yang bersangkutan belum dapat dinilai sebelum yang bersangkutan sudah benar-benar melaksanakan tugasnya.
Pilihan Pemilih
Berkenaan dengan pilihan pemilih untuk menentukan hak pilihnya terhadap calon anggota legislatif atau calon kepala daerah, Guntur mengatakan bahwa kedua pilihan tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemberian mandat agar calon legislatif atau kepala daerah yang menjadi pilihannya tidak mengingkari kepercayaan yang diberikan. Sehingga Mahkamah berpendapat penentuan pilihan bagi para pemilih dipengaruhi oleh di antaranya aspek kapabilitas, integritas dan akseptabilitas.
Dalam hal ini, pemilih memilih calon anggota legislatif karena dinilai mempunyai kapabilitas/kompetensi dan rekam jejak yang tepat dan cocok dengan jabatan yang akan diembannya.
Dengan demikian, jika calon anggota legislatif yang terpilih maupun yang incumbent tidak diwajibkan mengundurkan diri bagi yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di daerah pemilihannya, hal tersebut sama dengan mengingkari mandat yang diberikan oleh pemilih. Sebab, pemberian mandat kepada calon anggota legislatif maupun kepala daerah tidak semata-mata hanya persoalan formalitas untuk menyalurkan aspirasi, tetapi bersifat substansial agar aspirasinya dapat diaktualisasikan melalui calon anggota legislatif yang dipilih atau pernah dipilih yang memiliki rekam jejak, sehingga pemilih menentukan pilihannya kepada calon anggota legislatif untuk menjadi anggota legislatif bukan untuk menjadi kepala daerah.
“Ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 telah memberikan jaminan, pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ucap Guntur.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 91/PUU-XXII/2024 dalam perkara pengujian materiil UU Pilkada ini diajukan oleh Terence Cameron, Raihan Husnul Wafa, dan Wildan Nurmujaddid Erfan. Para Pemohon menguji Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada yang menyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: …… s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan”.
Pada Sidang Pendahuluan Senin (29/7/2024) lalu, Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada berpotensi menyebabkan para calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terpilih tidak ikut mendaftar sebagai calon kepala daerah, sehingga pemilih kehilangan alternatif pilihan dan berdampak pada tidak terselenggaranya Pilkada Serentak 2024 secara adil dan demokratis.
Pendaftaran pasangan calon Pilkada Serentak 2024 dijadwalkan pada 27 Agustus 2024 hingga 29 Agustus 2024, kemudian penetapan pasangan calon dijadwalkan pada 22 September 2024, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024. Sedangkan pelantikan anggota DPR dan DPD hasil pemilu 2024 akan dilaksanakan pada 1 Oktober 2024, serta pelantikan anggota DPRD di beberapa daerah juga akan dilaksanakan setelah tanggal 22 September 2024. Hal ini menurut Pemohon akan membuat ketidakpastian hukum apakah calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih yang hendak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah juga harus melaksanakan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf s, karena pada saat pendaftaran pasangan calon kepala daerah di tanggal 27 Agustus hingga 29 Agustus 2024 serta pada saat penetapan pasangan calon kepala daerah di tanggal 22 September 2024 mereka belum dilantik dan belum berstatus sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Adanya potensi multitafsir dan ketidakpastian hukum pemaknaan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dalam pencalonan kepala daerah telah terbukti pada saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang telah diundangkan pada 1 Juli 2024. KPU menurunkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada ke dalam Pasal 14 ayat (4) huruf d dan Pasal 32 PKPU Pencalonan Pilkada tersebut dan ini berbeda dari norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan bagi yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di daerah yang tidak meliputi seluruh wilayah daerah pemilihan DPR/DPD/DPRD anggota tersebut; atau jika calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih baru akan dilantik sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD setelah tanggal penetapan pasangan calon kepala daerah, maka wajib membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD bagi yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di daerah yang tidak meliputi seluruh wilayah daerah pemilihan DPR/DPD/DPRD anggota tersebut.”
(Arianto)