Kemunduran total demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia ditandai dengan berlakunya Undang-Undang sapu jagat yang kita kenal dengan Undang Undang Cipta Kerja. Meski berbungkus isu ketenagakerjaan, UU ini juga mengatur berbagai hal yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan warga termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya warga negara.
Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilakukan secara ugal-ugalan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memang sudah semestinya ditolak publik. Bukan hanya prosesnya yang tidak demokratis dan merusak tatanan pembentukan peraturan perundang-undangan yang ideal, subtansi Undang-Undang ini membahayakan hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Tak ayal, penolakan keras dari seluruh lapisan masyarakat terus disuarakan sejak kemunculannya.
Tak terkecuali para akademisi, untuk mengkritik pemerintah, Prof. W. Maria Surdjono, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menulis disertasi eks mahasiswa yang pernah dibimbingnya yang kini menjadi bagian dari pemerintah dan mendukung UU tersebut. Undang-Undang Cipta Kerja adalah bentuk kongkrit regulasi yang berkarakter ortodoks, represif dan otoriter. Seharusnya, UU tersebut tidak pernah disahkan di negara demokrasi.
"Pada jaman kerajaan dulu, rakyat menyampaikan aspirasinya dengan cara berkumpul dan berjemur di alun-alun sambil menundukkan kepala yang disebut “pepe”. Hal ini disaksikan oleh Raja, yang kemudian menanyakan perihal aksi rakyat di depannya. Sang Perdana Menteri menjelaskan keinginan rakyat untuk merubah atau mencabut aturan yang dibuat oleh Istana. Sang Raja terharu, dan menuruti keinginan massa. Setelah kebijakan itu dicabut, massa pun bubar dengan tertib," kata Jumhur Hidayat Ketua Aliansi Sejuta Buruh dalam Diskusi Publik yang digelar oleh GEBRAK (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) dengan mengusung tema "Kepentingan Dibalik Regulasi Otoriter Rezim Jokowi-Ma'ruf Amin" di Jakarta, Jum'at (05/08).
Tujuannya, ujar Jumhur, pada aksi sejuta buruh yang akan datang, kita harus dapat mengundang keterharuan pengambil kebijakan; pemerintah dan DPR agar mencabut UU Omnibus law.
Menurut dia, Kita harus mengerakkan massa sebanyak-banyaknya menyatakan bahwa kita tidak setuju dengan kebijakan itu. Bukan untuk menjatuh-jatuhkan. Hanya untuk mengundang keterharuan pengambil keputusan. "Dengan Gerakan massa kita bisa mengundang keterharuan penguasa bahwa ada masalah serius yang dirasakan rakyat. Kalau penguasa terharu dengan kehadiran kita di lapangan, maka tuntutan kita bisa diterima," ucapnya.
"Semoga kegiatan kita bersama bisa mengundang keterharuan penguasa. Karena itu janganlah ada ranting yang patah, tidak ada pot bunga yang pecah dan tidak ada sampah berserakan dalam aksi sejuta buruh itu," pungkasnya.
Hadir dalam kegiatan ini para Narasumber: Nining Elitos (GEBRAK); Jumhur Hidayat (Aliansi Sejuta Buruh); Ahmad Tufan (Komnas HAM); Benni Agung (KRPI) Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan M Nur Sholikin (PSHK) dengan Moderator Tasya Darosyifa (BEM UPNV). (Arianto)