Duta Nusantara Merdeka | Depok
WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif 6 bulan yaitu pemberian ASI saja kepada bayi selama 6 bulan tanpa pemberian makanan minuman apapun, kecuali beberapa tetes obat, vitamin dan mineral.
Setelah 6 bulan, menyusui tetap dilanjutkan sesuai permintaan atau sesering yang diinginkan bayi/anak bersama dengan MPASI yang memenuhi diet minimal yang dapat diterima (Minimum Acceptable Diet - MAD) hingga usia 2 tahun atau lebih.
Di sisi lain, ibu hamil dan laktasi sebagai modal produksi ASI memillki angka status gizi kurang yang tinggi yang ditandai dengan prevalensi anemia dan KEK yang tinggi.
Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH MC selaku Panitia mengatakan, Seminar ini digelar Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan (PKGK) FKMUI bertujuan untuk memberikan informasi mengenai rekomendasi terakhir ASI dan MPASI dan membahas evidens baik dari Indonesia maupun negara lain mengenai ASI, MPASI, dan status gizi bayi dan ibu dalam konteks membangun rekomendasi untuk Indonesia.
"Seminar dihadiri oleh akademisi dan peneliti gizi dan kesehatan masyarakat, mahasiswa gizi dan kesehatan masyarakat, kementerian dan lembaga terkait ASI dan MPASI, NGO dan LSM di bidang gizi dan kesehatan masyarakat dan organisasi profesi," kata Sandra saat Seminar Bertajuk "ASI dan MPASI: Dalam Konteks Evidens di Indonesia" pada Sabtu 22 Februari 2020 di Aula A FKMUI, Kampus UI Depok.
Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif Sp.A (K) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengatakan, Rekomendasi ASI dan MPASI versi IDAI: ASI merupakan makanan anak terbaik. ASI saja cukup sampai anak umur 6 bulan. Setelah 6 bulan, kandungan ASI tidak cukup memenuhi kebutuhan zat gizi anak. Mengapa? Karena anak tumbuh terus, sementara produksi dan kandungan zat gizi ASI tidak meningkat, sehingga kebutuhannya terhadap semua zat gizi meningkat.
Pada umur 6-8 bulan, kata Damayanti, ASI kekurangan 200 kalori/hari untuk memenuhi kebutuhan anaknya, kekurangan ini naik menjadi 300 kalori saat anak umur 9-11 bulan; dan meningkat menjadi 550 kalori saat anak berumur 12-23 bulan. Sehingga saat anak umur 12-23 bulan, walaupun diberi ASI sebanyak 550 ml/hari, tetap akan mengalami kekurangan energi sebanyak 60% dari kebutuhannya.
Untuk zat gizi lain juga demikian. Lanjutnya, Pada umur 12 bulan, ASI kekurangan 40% dari kebutuhan protein anak, 90% dari kebutuhan besi dan 80% dari kebutuhan vitamin A anak. Kekurangan inilah yang perlu didapat dari makanan pendamping ASI (MPASI). Kekurangan tersebut akan dapat dipenuhi bila anak mendapatkan makanan yang beragam dan yang jumlahnya cukup.
Agar kebutuhan energinya tercukupi, tegasnya, maka frekuensi makan anak harus disesuaikan dengan umurnya. Agar mencukupi kebutuhan mikronutriennya, maka makanan anak harus beragam, setidaknya mengandung 4 dari 7 jenis kelompok makanan, yaitu 1. padi-padian/akar, umbi yang biasanya merupakan makanan pokok; 2. Legumes dan kacang-kacangan; 3. Dairy products (Susu, yoghurt & keju); 4. Flesh foods (daging, ayam dan ikan dan hatildaging jeroan); 5. Telur; 6. Buah dan sayuran kaya Vitamin A; dan 7. Buah dan sayuran lainnya.
Data Indonesia (SDKI 2017) menunjukkan bahwa prevalensi anak yang mendapatkan ASI eksklusif sampai umur 4-5 bulan masih rendah, yaitu hanya 38%. Sementara itu, lebih dari separo anak umur 6-23 bulan mendapatkan diet yang tidak memenuhi kebutuhan minimalnya.
Oleh karena itu, imbuhnya, tantangan kedepan untuk perbaikan gizi anak, terutama untuk menurunkan stunting pada 2 tahun pertama kehidupan, masih besar. Tantangan ini terutama lebih berat untuk ibu bekerja, karena cuti hamil yang hanya 3 bulan dan menyeimbangkan antara memenuhi kebutuhan bayinya, kewajiban di rumah sebagai ibu dan menjaga kesehatannya sebagai ibu dan pekerja.
Pada Seminar sesi 2, Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH MC, dengan tajuk "Status & Konsumsi Gizi lbu Laktasi" mengatakan bahwa situasi status gizi ibu hamil dan menyusui di Indonesia perlu diperhatikan secara lebih serius khususnya terkait anemia dan kurang energi kronis (KEK). Keduanya dapat berakibat negatif terhadap pertumbuhan janin dan bayi, termasuk stunting.
Sedangkan, Prof. dr. Budi Utomo, MPH, PhD menegaskan pentingnya pemberian MPASI dini yang tepat untuk memastikan pertumbuhan anak yang optimal.
Pada kesempatan seminar yang sama, Ahmad Syafiq PhD, dengan tajuk "Meninjau 1000 HPK: ASI Eksklusif dan Stunting" mengungkapkan bahwa ASI Eksklusif meskipun dampaknya terhadap stunting masih perlu dikonfirmasi, tetapi tetap penting untuk menurunkan angka morbiditas (penyakit) dan mortalitas (kematian) bayi dan anak.
Selanjutnya, Indri Hapsari, PhD dalam seminar dengan tajuk "Meninjau Regulasi ASI Eksklusif lbu Bekerja" menjelaskan situasi mengenai aturan pemberian ASI dan ASI Eksklusif di Indonesia terutama terkait dengan peraturan cuti bagi ibu bekerja yang masih terlalu pendek yaitu hanya 3 bulan.
"Diharapkan seminar ini bisa membuka wawasan bagi masyarakat serta pemerhati gizi dan kesehatan untuk dapat memberikan ASI eksklusif 6 bulan dan ASI sampai 2 tahun kepada bayi/anak sebagai makanan terbaiknya tanpa melupakan pentingnya untuk selalu memonitor pertumbuhan dan perkembangan bayilanak dan memperhatikan status dan asupan gizi ibu laktasi," pungkasnya. (Arianto)