Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Indonesia memiliki berjuta ragam tanaman obat yang berpotensi dikembangkan untuk menambah nilai industri obat berbahan herbal (Jamu, Obat Herbal Terstandar/OHT, dan Fitofarmaka) yang jauh lebih besar dibanding negara lain.
Sebagai negara yang memiliki tidak kurang dari 30.000 spesies tumbuhan maupun sumber daya laut, tentunya tidak aneh jika Indonesia dapat menjadi pengekspor produk obat herbal terbesar di dunia. Namun faktanya, sekitar 9.600 spesies tanaman dan hewan yang diketahui memiliki khasiat obat belum dimanfaatkan secara optimal sebagai obat herbal.
Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito dalam sambutannya mengatakan, Potensi yang dimiliki Indonesia harus dikawal agar dapat dikembangkan oleh para peneliti, sehingga dapat memenuhi permintaan akan obat tradisional dan suplemen kesehatan dari bahan alam yang semakin meningkat.
Untuk dapat bersaing di kancah global, tegasnya, Indonesia perlu memberikan fasilitas ruang gerak terhadap peneliti tanaman berkhasiat obat agar menghasilkan obat herbal yang bermutu dan berdaya saing. Penelitian di bidang obat herbal telah banyak dilakukan, baik di Institusi pendidikan seperti sekolah menengah dan perguruan tinggi maupun institusi peneliti lainnya, namun hanya sebatas pemenuhan kurikulum tanpa pengembangan hasil penelitian lebih lanjut.
"Banyak yang telah meneliti, namun terbatas ruang gerak dalam melakukan pengembangan produk, hingga belum menjadi produk komersil yang dapat berdaya jual," ungkap Penny K. Lukito saat pembukaan "Bursa Hilirisasi Inovasi Herbal Indonesia 2020” pada 19-20 Februari 2020 di Jakarta. Rabu (19/02)
Tidak hanya meningkatkan pengetahuan, lanjutnya, ajang ini sekaligus memberi kesempatan kepada para peneliti di bidang obat herbal untuk dapat menginformasikan dan mempromosikan hasil penelitiannya kepada pelaku usaha dan masyarakat.
Menurutnya, Bursa Penelitian Herbal Indonesia 2020 ini meliputi serangkaian acara yaitu panggung edukasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan generasi milenial, pertemuan bisnis peneliti dan pelaku usaha, konsultasi layanan publik Badan POM, serta seminar ilmiah dengan pembicara dari dalam negeri dan luar negeri seperti Kohei Homma, Ph.D peneliti dari Amino Research, produsen bahan baku berbasis riset terkemuka di Jepang.
"Seminar ini menjadi ajang diskusi pertukaran informasi dan pengalaman, serta penjajakan kerja sama riset dan alih teknologi dalam rangka mendorong pengembangan industri obat bahan alam dalam negeri yang berdaya saing," tegas Kepala Badan POM.
Lebih lanjut Kepala Badan POM mengungkapkan bahwa Badan POM berupaya mengembangkan obat berbahan herbal untuk meningkatkan daya saing dan menjadi salah satu alternatif dalam pengobatan secara formal. Upaya tersebut sejalan dengan percepatan hilirisasi untuk mendorong pengembangan industri obat berbahan herbal.
Badan POM telah melakukan pendampingan penelitian uji klinik, mulai dari penyusunan protokol, diperolehnya pendanaan penelitian oleh Kementerian Riset dan Teknologi, hingga pelaksanaan uji klinik yang dilakukan terhadap sistem manajemen mutu, fasilitas uji klinik, dokumen uji klinik, dan produk uji.
Tahun 2019 lalu, kata Penny K. Lukito, sudah berjalan 8 penelitian yang terdiri dari 5 uji pra klinik dan 3 uji klinik. Selain itu terdapat 19 riset obat herbal yang sedang didampingi Badan POM hingga produk mendapat izin edar. Tak hanya itu, Indonesia juga telah memiliki 23 produk fitofarmaka yang berasal dari bahan alam baik tumbuhan maupun hewan. Fitofarmaka merupakan obat tradisional yang telah memiliki bukti ilmiah melalui proses uji klinik.
"Komitmen Badan POM untuk meningkatkan daya saing Obat Tradisional tercermin dengan adanya percepatan pelayanan perizinan, pendampingan dan pembinaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), program Bapak Angkat Jamu, pendampingan UMKM Jamu Gendong, inisiasi pengembangan Café Jamu, pengembangan obat tradisional/jamu tematik, serta membuka dan akses pasar ekspor internasional," pungkasnya. (Arianto)