Duta Nusantara Merdeka | Jakurta
Pada tahun 2019 Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali melakukan restorasi film nasional Indonesia dengan judul "Kereta Api Terakhir", yang di produksi pada tahun 1981 oleh Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN) karya sutradara yang peraih penghargaan Lifetime Achievement FFI 2006: Mochtar Soemodimedjo.
Kemendikbud hingga saat ini sudah merestorasi 4 (empat) judul film nasional yaitu; ""Darah dan Do'a" (direstorasi tahun 2013, pada saat itu masih di bawah pengawasan dan tanggung jawab Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI). Tahun 2017, film "Pagar Kawat Berduri", pada tahun 2018 film "Bintang Ketjil" dan pada tahun 2019 yang di produksi Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1981 film "Kereta Api Terakhir".
Pusbangfilm menggelar peluncuran dan pemutaran perdana film "Kereta Api Terakhir" hasil restorasi pada hari Rabu, 18 Desember 2019, pada pukul 13.10 WIB, bertempat di CGV FX Sudirman, J1. Jend. Sudirman No. 25, Jakarta Pusat. Acara peluncuran dan pemutaran perdana ini akan menggunakan 4 studio bioskop CGV, dan dihadiri oleh para undangan, pejabat kemendikbud, komunÃtas, masyarakat dan mahasiswa.
Film "Kereta Api Terakhir" menjadi pilihan para kurator untuk direstorasi karena salah satu film super kolosal yang melibatkan 15.000 pemain, yang mengisahkan tentang perjuangan revolusi tahun 1945-1947 yang diangkat dari novel karya Pandir Kelana. Film "Kereta Api Terakhir" merupakan produksi kerjasama antara Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN) dengan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).
Film Kereta Api Terakhir mengisahkan tentang latar belakang revolusi oleh Belanda yang diawali dengan masuknya Pasukan TNI Siliwangi ke Yogyakarta karena dilanggarnya Perjanjian Linggardjati tahun 1946, perjanjian yang memuat soal adanya kantong-kantong militer sebagai bagian bentuk kompromi Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.
Namun, perjanjian itu dibatalkan dengan kelakuan Belanda yang kurang pantas. Belanda menyerang semua basis Republik menggunakan pesawat Cocor Merah. Belanda juga belum sepenuhnya melepaskan kemerdekaan bagi Indonesia yang membuat rakyat kebingungan dan khawatir dengan rumor bahwa mereka merangsek menduduki kota Yogyakarta dan membuat mereka berdesakan masuk ke gerbong-gerbong kereta.
Markas Besar tentara di Yogyakarta memutuskan untuk menarik semua kereta api yang menuju ke Yogyakarta. Letnan Sudadi (Rizawan Gayo), Letnan Firman (Pupung Harris) dan Sersan Tobing (Gito Rollies) ditugaskan untuk mengamankan kereta api terakhir yang akan diberangkatkan dari Stasiun Purwokerto dan bekerjasama dengan Kolonel Gatot Subroto (Sundjoto Adibroto).
Perjalanan kereta terakhir yang penuh rintangan yang dikemas dengan cerita romantis dan komedi, mulai dari serangan udara Belanda, gerbong yang terbakar, pengungsi yang melahirkan, hingga diselipkan kisah asmara antara letnan Firman dan Retno yang ternyata merupakan gadis kembar, serta tak luput juga diceritakan kepahlawanan para pegawai kereta api, terutama kondektur Bronto (Eddy Sutomo).
Usia film yang sudah mencapaà 38 (tiga puluh delapan) tahun ini, menjadikan kondisi film rusak dimakan usia, hal ini menjadi tantangan berat bagi tim restorasi. Disisi lain materi yang tersedia hanya kopi positif yang di peroleh dari penggiat film komunitas layar tancap.
Namun, dengan segala keterbatasan yang ada, Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap berkomitmen tinggi untuk melakukan penyelamatan melalui restorasi dan menyelesaikan pekerjaan sesuai target waktu yang telah ditetapkan. (Arianto)