Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Pertumbuhan penduduk dunia setiap tahun mengalami peningkatan. Tahun 2019, jumlah penduduk dunia mencapai 7,7 miliar dan pada tahun 2050 jumlah ini diprediksi mencapai 9,7 miliar. Jika kita melihat data jumlah penduduk pada tahun 1980-an, jumlah penduduk dunia hanya setengahnya. Peningkatan jumlah penduduk dunia ini tentu harus diiringi pula dengan peningkatan jumlah bahan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut, maka dunia harus meningkatkan produksi pangan minimal 70% atau hampir 2 kali lipat dalam sisa waktu kurang lebih 30 tahun ke depan.
Indonesia saat ini memiliki penduduk sekitar 267 juta jiwa dan pada tahun 2045 jumlah ini akan meningkat menjadi 319 juta jiwa. Tantangan penyediaan bahan pangan pun akan dihadapi oleh Indonesia karena jumlah penduduknya yang sangat banyak. Guna memenuhi kebutuhan makan penduduk Indonesia, maka negara kita harus mampu meningkatkan produksi bahan pangan minimal 6% dari jumlah yang tersedia saat ini.
Prof. DR. Bungaran Saragih, MEc, Guru Besar di Institut Pertanian Bogor (IPB), Keynote Speech pada Seminar Nasional dengan tajuk “Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan Teknologi Organik dan Hayati” di Jakarta, Rabu (28/8) dalam sambutannya mengatakan, Tingkat pertumbuhan produksi itu masih harus lebih tinggi untuk mengimbangi kenaikan permintaan pangan akibat peningkatan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan serta urbanisasi, dan secara bersamaan juga harus mengatasi tekanan perubahan iklim, keterbatasan tenaga kerja pertanian, inovasi dan teknologi, dan penurunan ketersediaan dan kualitas sumberdaya alam lahan, air dan udara. Lalu pertanian juga dihadapkan pada harapan besar sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan bekerja, berusaha dan kesejahteraan. Kompleksitas dan karakteristik multidimensi dari pembangunan pertanian diatas menjadikan pembangunan pertanian tidak dapat hanya ditempatkan sebagai penyedia pangan tetapi juga harus terintegrasi dan sistematis sebagai pencipta nilai tambah ekonomi, lapangan pekerjaan dan berusaha serta bisnis dalam kesatuan dengan pembangunan agribisnis.
Tantangan dan konteks diatas menegaskan kembali esensi dan urgensi dari konsep dan paradigma keberlanjutan (sustainability) baik dalam pembangunan pertanian, tetapi juga dalam pembangunan agribisnis serta pembangunan ekonomi secara lebih luas. Termasuk dalam aspek keberlanjutan peningkatan produksi dan produktivitas pertanian dan petani. Salah satu esensi dari konsep keberlanjutan adalah adanya pertumbuhan yang terus-menerus secara konsisten dalam rentang antar waktu (time dimension), baik jangka menengah (10-15 tahun) bahkan seharusnya dalam jangka yang lebih panjang (20-25 tahun). Esensi lain dari konsep keberlanjutan adalah kebersahabatan dengan alam dan lingkungan (environmentally friendly). Bahwa dalam setiap aktivitas produksi pangan dan pertanian, harus dilaksanakan dengan cara dan metode yang secara inheren dan terpadu mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kapasitas dan kualitas sumberdaya alam dan lingkungannya baik itu lahan, air, udara/klimat, dan lingkungan lainnya. Esensi dan dimensi ini yang mengemuka dan digandrungi secara global di tahun 1990-an. Lalu berkembang suatu kebutuhan dan desakan masyarakat global bahwa konsep dan definisi keberlanjutan harus diperbaharui dan diperkaya dengan keberlanjutan dari sisi sosial, artinya bahwa implementasi keberlanjutan dan berbagai kegiatan dan upaya masyarakat haruslah juga yang mampu memberi keuntungan dan nilai tambah serta menjamin hak sosial masyarakat pelakunya (people). Karena dalam banyak kasus dan negara, upaya implementasi keberlanjutan ini justru hanya meningkatkan biaya baik biaya teknis, ekonomis dan lingkungan serta total biaya keseluruhan yang justru memberatkan masyarakat (people).
Belakangan ini konsep dan definisi keberlanjutan sudah semakin advance dan komprehensif dengan dipertimbangkannya esensi atau aspek keberuntungan (profit) yang justru dari awal menjadi aspek yang dikritisi dan bahkan ditekan habis. Masyarakat dan kalangan social society serta global community justru akhirnya menyadari bahwa tanpa keuntungan (atau profit) justru suatu keberlanjutan tidak akan bertahan lama atau not sustainable. Sehingga dalam memahami konsep dan definisi keberlanjutan, sangat tepat dan komprehensif paradigma manusia-planet-profit (People-Planet-Profit). Konsep dan definisi yang mulai banyak dan massif dipakai dan diacu oleh masyarakat global. Setiap aktivitas manusia dikatakan berkelanjutan apabila secara konsisten bertumbuh berkembang dalam kurun waktu jangka panjang dan memberi serta menjamin adanya kesejahteraan dan keadilan bagi manusia/pelakunya (people), bersahabat dan menjaga kualitas bumi (planet), dan juga bersamaan dengan itu menghasilkan dan memberi suatu keuntungan bagi seluruh pemangku kepentingannya (profit).
Paradigma pembangunan pertanian dan agribisnis dengan demikian juga harus menganut konsep dan paradigma keberlanjutan diatas. Paradigma pembangunan pertanian kedepan adalah pembangunan pertanian mencapai kedaulatan pangan nasional berkelanjutan bersama-sama dengan pembangunan agribisnis mencapai kesejahteraan petani dan keluarganya secara berkelanjutan serta mendukung pembangunan ekonomi nasional berkelanjutan. Pendekatan peningkatan produksi harus dibarengi secara inheren dengan peningkatan pendapatan rill dan kesejahteraan petani bersama anggota keluarganya. People come first after earth (land, water, air, etc) and profit (price, profit, income, etc). Better people will contribute to better planet and higher profit.
Dalam konsep dan paradigma pembangunan pertanian dan agribisnis berkelanjutan diatas maka strategi, kebijakan, dan program peningkatan produksi, produktivitas dan pendapatan petani juga harus selaras dan mendukung pencapaian kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan. Termasuk dalam pengembangan teknologi/inovasi, dan produk agri bio-input (input sarana produksi berbasis produk hayati-non kimia) baik oleh pemerintah maupun oleh pelaku usaha (swasta) serta komunitas masyarakat madani lainnya. Tantangan dan tren sekaligus peluang terkait aspek keberlanjutan ini perlu mendapat perhatian utama dan pertimbangan serius bagi pengembangan baik produk maupun jasa agro bio-input baik yang organik maupun yang hayati kedepan.
Salah satu tantangan dan peluang pasar dalam agro bio-input dalam konteks pertanian berkelanjutan diatas adalah teknologi atau inovasi dalam produk pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti hama, penyakit dan bakteri atau virus. Dalam konteks pertanian berkelanjutan diatas, maka tidak cukup dalam hal pemupukan saja, sistem usahatani diusahakan menggunakan pupuk organic dan hayati, tetapi juga harus dibarengi dengan sistem pengendalian hama penyakit tanaman yang berkelanjutan juga, melalui pendekatan penggunaan bio-input organik dan hayati.
Memang telah luas disadari bahwa pengembangan pupuk organik termasuk pupuk hayati sangat strategis dan mendesak baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang, termasuk juga pendekatan pengendalian hama penyakit tanaman berbasis organik dan hayati. Dengan semakin menguatnya dimensi dan aspek keberlanjutan dalam pembangunan pertanian dan agribsisnis serta pencapaian kedaulatan pangan berkelanjutan kedepan maka posisi dan kontribusi pendekatan penggunaan input sarana produksi organik dan hayati ini semakin strategis dan mendesak. Yang harus didekati dan dilaksanakan secara holistik dan integratif.
Tetapi perlu disampaikan dan dipertegas bahwa arah baik pemupukan organik, hayati dan pembenah tanah maupun penggunaan agri bio-input pada pokoknya adalah upaya mencapai keberlanjutan dalam peningkatan produktifitas dan peningkatan produksi komoditas pertanian yang dapat secara riil dan nyata juga memberi peningkatan pendapatan serta kesejahteraan bagi petani dan keluarganya. Bukan untuk membuat pertanian kita pertanian organik dalam pengertian budidaya tanpa pupuk anorganik. Pertanian organik dan produk organik serta bio-input ada tempatnya dan pasarnya tetapi tantangan dan tugas pemenuhan pangan nasional kita sangat riskan dan kurang bijak bila digantungkan sepenuhnya dan membabi buta pada sistem pertanian seperti ini.
Perlu disampaikan bahwa penjualan dan penyerapan serta aplikasi pupuk organik yang sudah disubsidi dan disalurkan oleh BUMN sebesar PT Pupuk Indonesia (Persero) saja sampai saat ini masih relatif sedikit, lambat pertumbuhannya dan cenderung stagnan. Dari alokasi subsidi pupuk organik yang mencapai 1 juta ton, dalam beberapa tahun terakhir, realisasi penyerapannya masih dibawah, sekitar
600-800 ribu ton per tahun. Sementara diluar subsidi, penjualan pupuk organik dan pupuk hayati serta bio-input organik/hayati lainnya yang sejenis belum mampu meluas, baik itu di komoditas pangan, palawija, hortikultura dan perkebunan. Mungkin fakta dan tren ini dapat menjadi pelajaran dan perhatian kita semua. Kondisi ini berbeda dengan tren dan perkembangan yang meluas dikembangkannya pusat-pusat pertanian organik di berbagai daerah dan tumbuhnya beragam komoditas pertanian organik, yang tampaknya belum tersentuh oleh produk organik. Dan tren penggunaan serta penyerapan pupuk organik di Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand justru lebih besar dan bertumbuh pesat. Walaupun kita juga menyaksikan beberapa perusahaan besar lokal yang mampu bersaing dan bertumbuh dalam penjualan produk pupuk organik dan hayatinya.
Diperkirakan beberapa aspek yang menjadi kendala dalam penetrasi, pertumbuhan dan daya serap pupuk organik dan hayati serta bio-input diatas antara lain persepsi petani yang masih misleading, persoalan kualitas, kandungan nutrisi dan hara, dan harga serta logistik. Perkiraan faktor penyebab ini perlu digali, diidentifikasi, dibahas dan didalami lebih lanjut secara bersama-sama seluruh pemangku kepentingan pemupukan nasional, termasuk Asosiasi Biofertilizer Indonesia (ABI). Perlu dikembangkan suatu promosi dan pengembangan produk agro bio-input yang berbasis riset yang kuat (science-based research) di level uji efektifitas misalnya, lalu uji konsistensi, dan analisis kelayakan ekonomi, social dan kelembagaannya bagi petani/poktan. Dengan riset berbasis sains yang kuat ini, diharapkan keyakinan dan bukti akan dampak penggunaan agro bio-input baik bagi peningkatan produktifitas dan produksi pertanian nasional serta bagi pendapatan/kesejahteraan petani akan semakin menguat dan meluas. Keyakinan dan kesadaran riil akan dampak-dampak ini yang akan mendorong bertumbuhnya permintaan akan produk agro bio-input kedepan.
Lalu strategi, kebijakan dan program pengembangan pupuk organik harus dibarengi dengan pengembangan pupuk hayati (biofertilizer) dan pembenah tanah (soil conditioner) agar ketiga jenis pupuk dan pembenah ini saling menguatkan dan saling melengkapi. Dan kedepan usaha promosi, sosialisasi dan peningkatan pengetahuan serta kesadaran petani akan pentingnya penggunaan pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah serta bio-input yang efektif dan berimbang perlu semakin diperkuat. Ini perlu mendapat perhatian dan penanganan prioritas bagi seluruh pemangku kepentingan pupuk organik dan hayati kedepan.
Terakhir, lanjut Bungaran Saragih, belajar dari pengalaman dan capaian pertumbuhan pasar dan penjualan produk bio-input selama ini yang masih relatif lambat, terbatas, dan cenderung stagnan, mungkin diperlukan suatu pendekatan model bisnis baru yang lain dengan pasar sarana produksi yang ada selama ini. Dengan tuntutan pasar yang berbeda, karakteristik konsumen akhir yang juga berbeda, teknologi dan inovasi produk yang relatif advance, dan lingkungan strategis bisnis agro bio-input yang dinamis, diperlukan pendekatan bio-enterpreneur baru juga. Bio-enterpreneur baru ini dapat menjadi dorongan baru (new big push) dalam revolusi kebangkitan pertanian organic dan hayati di Indonesia. Ini merupakan tantangan dan strategi lain yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan agro bio-input.
"Kiranya konteks, kondisi, dan permasalahan serta tantangan pembangunan pertanian dan agribisnis serta pemupukan/penggunaan bio-input yang disampaikan diatas dapat menginspirasi dan memperkaya pemaparan, diskusi dan urun rembug kita semua dalam acara Seminar ini. Diskusi dan pembahasan seperti ini perlu diteruskan dan diperluas serta dipertajam untuk seluruh pemangku kepentingan pembangunan pertanian dan agribisnis nasional," tutup Bungaran Saragih. (Arianto)