Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Kalangan teknokrat, cendekia serta pemerhati teknologi dan industri mengingatkan para pengambil keputusan di negeri ini agar segera memberikan support optimal untuk pemberdayaan teknologi untuk maksud dan tujuan yang aplikatif secara bisnis. Technopreneurship harus lebih digalakkan pada mahasiswa di perguruan-perguruan tinggi berbasis teknologi. Kalangan teknokrat dan praktisi sudah saatnya berpikir lebih agresif tentang bagaimana menjadikan pengusaha mampu memanfaatkan teknologi untuk mengerjakan sesuatu yang baru atau menemukan teknologi tepat-guna sebagai basis untuk mengembangkan usahanya. Upaya untuk menumbuhkan ekosistem teknopreneur juga harus digalakkan, karena komersialisasi teknologi akan segera menjadi kebutuhan.
"Saya ingin mengajak semua kalangan berpikir serius, sejenak saja. Bangsa ini punya banyak potensi sumberdaya alam berlimpah, sumberdaya manusia juga sangat mumpuni. Sekarang saatnya kita melangkah, memanfaatkan teknologi untuk kepentingan-kepentingan bisnis dan komersial, dan tidak lagi 'malu-malu' untuk mengomersialkan teknologi," kata Ridwan Djamaluddin, Ketua Umum Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA ITB) kepada wartawan, usai acara pembukaan Indonesianisme Summit 2019" di JCC, Jakarta, Selasa (13/8).
Menurut Ridwan, sekaranglah saatnya Indonesia memberdayakan teknologi untuk menjadikan semua aset berdaya secara masif. Semua kalangan bisa dan harus memanfaatkan teknologi. Jika tidak, ratusan juta jiwa penduduk Indonesia akan terus jadi penonton yang menyaksikan semua potensi dan kekayaannya dimanfaatkan dan dipanen oleh asing.
"Ini tidak main-main. Sekarang saatnya untuk mulai dan bangkit secara lebih serius. Ini bukan jargon-jargon kosong yang hanya pantas untuk diteriakkan. Kita harus berbuat. Karya di atas kata-kata," kata Ridwan Djamaluddin.
Tampil sebagai pembicara pada ajang diskusi tersebut antara lain Ridwan Djamaluddin, Deputy Menko Kemaritiman yang juga Ketua Umum IA-ITB; Danis H Sumadilaga, Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR yang juga Wakil Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia; Edwin Abdullah, Deputi Menteri BUMN; Doddy Rahadi, Dirjen KPAIl Kementrian Perindustrian Penny K. Lukito, Kepala BPOM, serta sejumlah pimpinan perusahaan seperti Ririek Adriansyah (Dirut PT Telkom), Emma Sri Martini (Dirut PT Telkomsel), Machnizon (Dirut PT PJB,) dan Dino A Riyandi (Direktur PT Bakrie Autoparts). Penyelenggaraan ajang diskusi diikuti dengan gelaran Pameran Karya "Dari 30 Teknopreneur Indonesia".
Ridwan Djamaluddin mengajak semua kalangan untuk tidak lagi 'alergi membicarakan dua hal ini: 'membisniskan' teknologi dan 'menteknologikan' bisnis. Justru, sinergi antara keduanya menjadi sangat mendesak untuk dilakukan.
"Supaya hasilnya benar-benar optimal dan bermanfaat. Supaya asing tidak lagi bisa menguasai kita. Kita punya potensi, kita manfaatkan dengan teknologi," katanya.
Dinamika perubahan teknologi yang sangat cepat harus diantisipasi oleh para pelaku bisnis, dan kemudian memanfaatkannya secara optimal untuk kebutuhan bisnis mereka. Di sisi lain, teknologi sudah saatnya tidak lagi hanya dianggap, dinilai dan diperlakukan sebagai "pajangan" semata, yang seolah-olah tidak layak atau tidak boleh dibisniskan. Ridwan mencontohkan gerak cepat para pelaku bisnis untuk "membisniskan start-up" adalah sebuah contoh nyata bahwa masyarakat bisnis dan teknologi tak lagi alergi untuk membisniskan teknologi, kendatipun kerja tersebut belum memperlihatkan hasil yang nyata.
Ridwan menambahkan, teknologi selalu menandai lahirnya peradaban manusia, mulai dari zaman batu sampai era informasi. Namun, tidak semua teknologi mampu bertahan pada zamannya. Hanya teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan dan bisnis manusia yang akan berkembang Dalam hal ini, technopreneur-lah yang menjadi lakon utama dalam membawa teknologi ke pasar. Jika melihat perkembangan teknologi dan kemajuan bisnis, saya sangat yakin, komersialisasi teknologi tak lama lagi akan menjadi kebutuhan, hal yang lumrah dan sangat biasa," katanya.
Ekosistem Teknopreneur
Pada bagian lain, Achmad Rizal, Direktur Re-Industrialisasi A ITB menjelaskan, masih banyak yang tidak menyadari bahwa technopreneurship adalah sebuah hal yang seharusnya mendapat perhatian lebih besar. "Technopreneurship perlu digalakkan pada mahasiswa dan alumni universitas yang bergerak di bidang teknologi," katanya.
Teknopreneur adalah pengusaha yang memanfaatkan teknologi untuk mengerjakan sesuatu yang baru (inovasi) atau menemukan teknologi sebagai basis untuk mengembangkan usahanya.
Dengan ini, para lulusan perguruan tinggi tidak usah menjadi "agen-agen perusahaan asing". "Ingat, bangsa yang menguasai dunia adalah yang menguasai teknologi, pencipta teknologi, penyerap teknologi dan pengguna teknologi. Kini sudah saatnya kita mengembangkan ekosistem teknologi untuk kemandirian bangsa agar bangsa kita tidak hanya sebagai penonton dalam kemajuan peradaban, katanya.
Menurut dia, teknopreneur harus mampu menumbuhkan ekosistemnya, dan regulator, dalam hal ini pemerintah juga perlu mendorong tumbuhnya ekosistem teknopreneur. "Bukan zamannya lagi teknologi hanya teronggok di perpustakaan sebagai literatur.
Aplikasinya harus dipacu. Para praktisi teknologi, para teknopreneur harus didorong agar berperan lebih agresif. Mereka adalah orang yang diharapkan mampu menteknologikan bisnis, sekaligus membisniskan teknologi," kata Rizal, seraya menambahkan bahwa diskusi-diskusi dan pameran teknologi yang digelar dalam ajang "Indonesianisme Summit 2019" ini adalah sebuah ajang yang digelar untuk tujuan-tujuan tersebut.
Senada dengan Ridwal Djamaluddin, Rizal mengajak semua kalangan untuk tidak 'alergi' membicarakan dua hal ini: membisniskan teknologi dan' 'menteknologikan' bisnis' Justru, sinergi antara keduanya memang menjadi sangat mendesak untuk dilakukan.
Sebelah Mata
Lebih jauh Rizal mengatakan, tak akan ada yang membantah jika dikatakan bahwa Indonesia saat ini dibanjiri produk-produk teknologi dari luar negeri. Produk-produk elektronik dan otomotif membanjiri pasar Indonesia. Para kapitalis global tertawa' di balik layar melihat masyarakat Indonesia berbondong-bondong menyerbu produk-produk mereka. "Lihat saja setiap launching produk handphone terbaru, masyarakat mengantri untuk mendapatkan produk tersebut," kata Rizal yang pernah bekerja sebagai pimpinan unit pengembangan produk di sebuah perusahaan industri otomotif terkemuka di Indonesia.
la menyoroti lemahnya penguasaan teknologi di Indonesia. Dalam konteks ini, Rizal merasa pemerintah tidak memberikan perlakuan yang pantas untuk pengembangan teknologi. "Dalam setiap periode pemerintahan, penguasaan teknologi selalu dipandang sebelah mata," ujarnya.
la berpandangan, peran-bersama pemerintah, industri, dan institusi pendidikan (perguruan tinggi) saatnya lebih serius dikembangkan. Selama ini ketiga sektor tersebut seolah berjalan sendiri-sendiri. Riset-riset perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah jarang dipakai untuk industri dan hanya menumpuk di perpustakaan. Inovasi teknologi industri pun sangat minim, akibatnya sulit bersaing dengan produk luar.
"Pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat melindungi tumbuhnya industri dalam negeri memasuki era perdagangan bebas. Kalau dilepas begitu saja, jelas industri kita akan kalah bersaing dengan produk-produk luar" tutup Rizal. (Arianto)