Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Rabu depan, 26 Juni 2019, Indonesia bersama negara-negara lain di seluruh dunia akan memperingati Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Obat, sebuah hari yang di Indonesia sering secara keliru disederhanakan menjadi Hari Anti Narkotika Internasional.
Hari itu seharusnya juga menjadi pengingat bagi semua orang bahwa pada tahun ini Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah diimplementasi selama sepuluh tahun di negeri ini. Tentu banyak hal yang mesti dikaji dari situasi itu demi perubahan ke depan.
Oleh karena itulah, Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menggagas buku "Anomali Kebijakan Narkotika" sebagai sebuah sumbangsih pada diskursus mengenai perkembangan kebijakan narkotika ke depan. Hal ini kemudian juga disambut baik oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma l Jaya untuk kemudian menerbitkan buku ini mengingat pentingnya peningkatan keragaman literatur tentang narkotika di negeri ini.
Untuk itu, dalam rangka memperingati Hari Anti Narkotika Internasional, Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), MaPPI FHUI, LBH Masyarakat, Akademisi Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya dan STIH Jentera, PBHI serta pemerhati kebijakan narkotika yang tergabung dalam Tim penyusun buku “Anomali Kebijakan Narkotika” launching buku “Anomali Kebijakan Narkotika” hari Minggu, 23 Juni 2019 pukul
11.00 - 12.00 wib bertempat di Bakoel Koffie, Jl. Cikini Raya No. 25, Jakarta.
Terkait hal itu, Choky Ramadhan, pengajar hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas lndonesia yang menjadi editor buku ini, berkata, "Merespon beberapa narasi dan rumusan RUU Narkotika yang jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan, terutama kesehatan publik, serta minim bukti pendukung untuk dijadikan kebijakan yang baik, para akademisi dan peneliti dalam isu narkotika berbagi gagasannya. Gagasan mereka dikumpulkan dan disatukan dalam buku ini agar memudahkan bagi para pemangku kepentingan dalam mencari dan menggunakan rujukan terkini dalam mengatur kebijakan narkotika. Beberapa tulisan berkualitas dalam buku ini menawarkan perspektif alternatif selain pendekatan punitif yang perlahan dikritisi dan ditinggalkan banyak negara."
Samsu Budiman, Koordinator Nasional PKNI, mengingatkan pentingnya membangun narasi
yang humanis untuk kebijakan narkotika, "Pemerintah harusnya lebih manusiawi dalam membuat kebijakan terkait Narkotika, mengingat permasalahan ini tidak bisa diselesaikan melalui satu cara pendekatan saja, namun harus dilakukan melalui pendekatan secara komprehensif, baik secara sosiologis, psikologi dan hukum. Tidak serta merta memandang "supply and demand" saja karena banyak faktor yang menyebabkan manusia terjerumus dengan Narkotika."
Arif Rachman Iryawan, Koordinator Monitoring dan Evaluasi Rumah Cemara, meluruskan tentang bagaimana demand reduction seharusnya dipahami, "Kebijakan demand reduction harus ditujukan untuk pencegahan penggunaan narkotika dan pengurangan konsekuensi buruk akibat penyalahgunaan narkotika. Selain itu kebijakan demand reduction juga harus mendorong partisipasi yang terkoordinasi dari setiap individu di level komunitas, sensitif gender dan budaya, serta kontribusi dalam pengembangan dan menciptakan lingkungan yang mendukung secara berkelanjutan."
Alfiana Qisthi, yang menulis bab yang sama dengan Arif, kemudian menekankan pemahaman yang tepat tentang perawatan dan rehabilitasi narkotika, "Perawatan dan rehabilitasi bagi korban narkotika merupakan suatu proses yang panjang dimana banyak individu membutuhkan beragam intervensi dan monitoring yang berkala, sehingga memerlukan penanganan yang bersifat komprehensif. Tidak ada suatu jenis metode perawatan dan rehabilitasi dapat diterapkan kepada setiap individu. Kebutuhan setiap individu adalah unik dan berbeda satu sama lain.
Pemberian pelayanan perawatan dan rehabilitasi bagi pengguna narkotika merupakan hak dasar atas kesehatan yang harus dipenuhi, sama seperti pelayanan kesehatan lainnya yang diberlakukan bagi kelompok masyarakat lainnya."
Asmin Fransiska, Pengajar HAM Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya, kemudian mengangkat betapa pentingnya kebijakan narkotika yang akuntabel, "Kita dapat berkaca pada apa yang dilakukan oleh banyak negara yang telah memulai reformasi kebijakan narkotikanya dengan riset yang objektif, berdasarkan ilmu pengetahuan serta bertujuan mengurangi dampak kesehatan dan bukan semata-mata menghukum.
Kebijakan narkotika haruslah secara rutin dievaluasi dan dikembangkan demi kepentingan banyak pihak, terutama mereka yang terdampak dari peredaran narkotika ilegal."
Di sisi lain, Miko Ginting, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, menjelaskan kritiknya pada UU Narkotika hari ini, "Posisi UU Narkotika yang berlalu saat ini masih berada pada dua kali: pendekatan penegakan hukum (pidana) dan pendekatan kesehatan.
Dimana dengan karakter koersif dari hukum pidana, pendekatan itu akan selalu "menang" dan dikedepankan dalam praktik. Salah satu gambarannya adalah tindakan rehabilitasi dalam UU Narkotika. Tindakan rehabilitasi bersifat wajib dan seringkali dipadupadankan sebagai tindakan dalam hukum pidana.
Tindakan dalam hukum pidana merupakan bentuk sanksi selain pidana. Oleh karena itu, meskipun terdapat pendekatan kesehatan, pendekatan itu masih dalam kerangka hukuman."
Untuk menjembatani upaya intervensi kesehatan pada UU Narkotika yang amat punitif hari ini, pada awal 2014 lalu institusi-institusi seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Hukum dan HAM membentuk sebuah peraturan bersama untuk menjembatani problem-problem di antara mereka. Salah satu yang muncul dari keberadaan peraturan bersama itu ialah tim asesmen terpadu (TAT) yang berfungsi untuk mendiferensiasi siapa yang berhak atas rehabilitasi dan mana yang tidak. Terkait hal itu, Totok Yulianto, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), menyarankan agar proses asesmen terpadu menjadi wajib di UU Narkotika yang baru, "Permasalahan terbesar pelaksanaan proses asesmen yang dijalankan saat ini permasalahan adalah sebagian besar penyidik enggan menyerahkan tersangka kepada TAT untuk dilakukan asesmen.
Tersangka juga sering mengalami pemerasan oleh oknum penyidik untuk mendapatkan asesmen. Penyidik pun kerap mengabaikan hasil asesmen dari TAT. Perlu adanya integrasi TAT dan mekanisme pengawasannya yang jelas dalam Naskah Akademik dan RUU Narkotika."
Di lain pihak, Indonesia juga kerap dihebohkan dengan berita bombastis seperti "Narkoba Jenis Baru!", sebuah hal yang menurut Yohan Misero, Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat, sesungguhnya adalah kehebohan yang tidak perlu." "Yang 'baru' dari zat atau tanaman itu hanyalah bahwa mereka belum diatur dalam skema internasional maupun nasional. Itu saja.
Sayangnya, dalam revisi UU Narkotika ini, Pemerintah dan Parlemen seakan melihat bahwa kewenangan penggolongan harus digeser dari Kementerian Kesehatan ke Badan Narkotika Nasional semata agar zat atau tanaman tersebut dapat lebih cepat masuk ke lampiran UU Narkotika. Usulan tersebut sangatlah berat pada kacamata penegakkan hukum yang sesungguhnya mengorbankan situasi kebutuhan kesehatan publik pada narkotika, sebuah perspektif yang dipahami lebih baik oleh Kementerian Kesehatan.
Kami justru mengusulkan agar uu Narkotika mendekriminalisasi pembelian, penguasaan, dan penggunaan narkotika dalam jumlah terbatas agar Pemerintah dapat lebih mudah berdiskusi dengan komunitas terdampak dan mendeteksi keberadaan ZPB di lapangan."
Buku ini dihadirkan agar masyarakat dapat secara lebih utuh melihat permasalahan hukum narkotika di Indonesia. Di sisi lain, penting sesungguhnya para pemangku kepentingan dalam penyusunan revisi UU Narkotika ini untuk membaca tulisan serta rujukan literatur yang tersedia di buku ini.
Apa yang tersaji dalam buku ini merupakan hasil dari perkembangan peradaban dan pengetahuan selama bertahun-tahun. Hasil dari pengalaman, penelitian,serta kebijakan terdahulu baik di Indonesia maupun di negara lain penting sekali untuk dipelajari agar dapat menghasilkan kebijakan narkotika yang semakin baik. Kita tentu tidak berharap kebijakan narkotika yang dibentuk dalam UU Narkotika baru akhirnya gagal dan tidak berdampak dalam mengatasi masalah-masalah utama. (Arianto)