Duta Nusantara Merdeka | Medan
Kerjakanlah apa yang kamu sukai, lakukan apa yang kamu yakini benar, maka kamu akan menemukan kebahagiaan yang ‘tak ada mata uang’-nya, yang tak bisa ditukar dengan apapun.
Inspirasi nan filosofis itu tercetus dalam ‘Future Leader’s Talk: Horas Medan’ yang digagas Kantor Staf Presiden bersama anak muda Sumatera Utara di Potret Café, Babura, Medan Baru, hari Jum’at, 22 Maret 2019.
Dialog santai ini menghadirkan tiga narasumber yakni Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Syska Hutagalung, Komika Majelis Lucu Indonesia Reza ‘Coki’ Pardede dan aktivis sosial Togu Simorangkir dimoderatori Agung Hikmat dari Kantor Staf Presiden.
Togu Simorangkir selaku tokoh muda inspiratif Sumatera Utara memutuskan pulang kampung setelah enam belas tahun merantau. Master bidang konservasi primata dari Oxford Brookes University, Inggris ini terpanggil menolong anak-anak yang kesulitan akses belajar dan membaca di Pulau Samosir.
“Sebenarnya alasan saya pulang kampung ke Sumut karena ‘patik palimahon’, menghormati orang tua seperti ajaran agama,” ujar Togu.
Pegiat literasi yang mendirikan kapal belajar untuk tempat membaca bagi anak-anak di sekitar Danau Toba ini menceritakan kisah awal perjuangannya.
“Saya keluar dari organisasi internasional dengan gaji sekitar 20 juta rupiah per bulan lalu membuka usaha jualan air minum. Untungnya dua ribu rupiah per galon, seribu rupiah buat saya, seribunya lagi buat yayasan,” ujar pendiri Yayasan Alusi Taoutoba pada 18 Juni 2009 itu.
Saat ini sudah ada 8 rumah belajar yang ia buat agar anak-anak di sekitar Danau Toba tetap dapat membaca. Untuk menghidupkan rumah belajar itu, Togu dan rekannya Biston Hutahuruk rela berjalan kaki sejauh 305,65 kilometer mengitari Danau Toba dalam rangka mengumpulkan donasi secara independen tanpa bantuan pemerintah.
“Saya bersyukur tersesat di jalan yang benar. Secara finansial memang terjun bebas, tapi saya menemukan happiness yang tidak bisa dinilai,” ungkap peraih anugerah Kick Andy Heroes 2019 ini.
Anak desa dari Silulu, Kecamatan Gunung Malela, Kabupaten Simalungun, itu tak menyesal ketika suatu saat membatalkan undangan ‘reuni’ ke Inggris menjadi pembicara sebuah seminar demi mendengar ajakan kepala desa untuk membuat perpustakaan di kampungnya.
Ia lebih memilih pulang dari bekerja di sebuah NGO di Kalimantan dengan uang sendiri. “Padahal kalau berangkat ke Inggris, semuanya diongkosi, dapat uang saku pula. Tapi, jika saat itu tidak memilih pulang kampung, rumah dan kereta bacaan bagi anak-anak di Toba tidak akan pernah ada. Hidup kita harus berguna bagi orang lain,” jelas Togu.
Togu menekankan hanya ada dua kunci menegaskan berbagai pencapaiannya selama ini: komitmen dan konsistensi. “Untuk mengubah hal-hal besar tak harus melakukan hal-hal besar. Jangan berpikir pada angka, tapi kualitas,” kata pria yang pernah bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara untuk mendapat bantuan Rp 100 juta funa pengembangan perpustakaan di Samosir itu,
Kerja yang Membahagiakan Diri
Sementara itu, Coki menegaskan, kesuksesan tak bisa dinilai dari materi. “Tunjukkan pada orangtua bahwa apa yang kita lakukan adalah passion yang bisa membuat kita bahagia. Kalau orangtua melihat kita bahagia, pasti mereka akan bahagia, karena pada dasarnya setiap orangtua ingin anaknya bahagia,” jelas penyiar radio yang melejit lewat ajang pencarian bakat Stand Up Comedy Indonesia ini.
Syska Hutagalung dari KSP memaparkan jalan hidupnya sebagai anak muda kampung dari Tarutung. “Saya kerap dirisak karena berasal dari desa. Tapi saya buktikan, ‘Si Tarutung’ ini bisa sukses,” jelas perempuan berlatar belakang pendidikan hukum itu.
Syska memaparkan tugas Kantor Staf Presiden memantau program-program prioritas Presiden Jokowi dapat tepat sampai kepada penerima manfaatnya. “Dalam program sertifikasi tanah dan perhutanan sosial yang jadi ranah kerja saya misalnya, KSP tidak bekerja di balik meja. Kami menelusuri hingga ke pelosok daerah mencari temuan lapangan apakah semuanya sesuai sasaran,” jelas Syska.
Syska menyatakan, bekerja di institusi publik seperti yang dia lakukan benar-benar sebuah ‘pengabdian’. “Pengabdian itu kata dasarnya bukan ‘abdi’ tapi ‘pengap’, kita kerja keras 24 jam dalam 7 hari, layaknya restoran siap saji yang tak pernah berhenti melayani,” seloroh tenaga ahli Kedeputian II Kantor Staf Presiden yang membidangi kajian strategis isu-isu sosial, ekologi, dan budaya strategi.
“Walaupun pekerjaannya nyaris tanpa henti, kita tetap harus nikmati dan berbahagia, karena yang kita perjuangkan adalah keberpihakan untuk masyarakat,” tutup Syska.(Arianto)