Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
“Pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok adalah bagian dari pelaksanaan janji Jokowi, yaitu membangun dari pinggiran. Jadi seluruh Indonesia akan terkoneksi. Konektivitas ini membuat Indonesia sambung menyambung menjadi satu, bukan hanya dalam lagu, tapi nyata,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat membuka acara diskusi media dengan tema “Pembangunan Infrastruktur” di Jakarta, hari Jumat, 08 Pebruari 2019.
Presiden Joko Widodo memang kerap diidentikkan dengan presiden infrastruktur. Namun, ketika begitu banyak capaian di bidang infrastruktur, ada sebagian kecil yang justru menganggap pembangunan infrastruktur tidak penting.
Selain itu, dikembangkan pendapat miring bahwa infrastruktur tidak menguntungkan rakyat, infrastruktur hanya jalan tol, jalan tol bukan untuk rakyat. Juga disebarkan kabar bohong bahwa utang menumpuk karena infrastruktur, atau infrastruktur tidak menciptakan lapangan pekerjaan.
Juga dihembuskan kabar negatif bahwa banyak BUMN rugi karena proyek infrastruktur, swasta tidak kebagian kue proyek infrastruktur, utilisasi infrastruktur rendah, dan pembangunan infrastruktur tertunda karena pemerintah tidak punya uang.
Oleh karena itu, ia memandang perlu meluruskan informasi-informasi yang salah terkait pembangunan infrastruktur tersebut.
Dalam diskusi yang juga menghadirkan Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Denni Puspa Purbasari yang membidangi kajian dan pengelolaan isu ekonomi strategis, CEO PINA Eko Putro Adijayanto, dan ekonom yang juga Rektor Unika Atma Jaya A. Prasetyantoko, terungkap bahwa infrastruktur bisa dirasakan secara nyata oleh semua lapisan masyarakat.
Masyarakat di daerah terpencil, ibu-ibu, pedagang, pengusaha kecil dan pengrajin, pekerja, pekerja kreatif, petani, nelayan dan peternak, supir dan kurir, karyawan, pengusaha dan investor, milenial, peneliti, dokter dan pasien, balita dan ibu hamil/menyusui, lansia, guru dan siswa, masyarakat menengah ke bawah, keluarga Indonesia, atlet, aparat negara, hingga wisatawan, merasakan manfaat yang nyata.
Sebab, infrastruktur yang dibangun itu tidak hanya jalan tol, tapi juga bandara, pelabuhan, kawasan industri, jaringan telepon, internet, jalan lintas, jembatan desa, sambungan listrik, rel kereta api, sarana transportasi massal di perkotaan, saluran irigasi, bendungan, embung, sekolah, PAUD, Puskesmas, laboratorium, rumah bersubsidi, fasilitas umum, pos lintas batas, jamban, sumur, air bersih, dan banyak lagi.
“Membangun infrastruktur sama dengan menciptakan kesejahteraan untuk semua. Mendirikan infrastruktur bukan hanya mendirikan monumen mati. Membangun infrastruktur adalah membangun jiwa dan badan Indonesia,” kata Denni, doktor ekonomi dari University of Colorado at Boulder ini.
Ia menambahkan, “Yang bisa kita lihat, pertumbuhan ekonomi terus meningkat, inflasi stabil, pengangguran menurun.
Pembangunan ini pun berkualitas karena kemiskinan menurun, indeks Gini juga menurun, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita meningkat.”
Untuk membiayai pembangunan berbagai proyek infrastruktur, pemerintah tidak hanya mengandalkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah juga melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta, juga masyarakat.
Dengan demikian, kebutuhan biaya pembangunan infrastruktur yang besar tidak serta merta membebani APBN.
Dari kebutuhan dana pembangunan infrastruktur
2015-2019 yang mencapai Rp4.806 triliun, pemerintah melalui APBN membiayai 36% atau Rp1.730 triliun. Angka ini sduah termasuk dana yang ditransfer ke daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Dana Desa. Selebihnya, Rp3.076 triliun atau 64% merupakan partisipasi BUMN dan swasta.
"Selain itu, ada juga infrastruktur yang dibangun dengan swadaya masyarakat. Jadi, infrastruktur bukan hanya kerja pemerintah. Infrastruktur adalah kerja bersama atau gotong royong,” tegas Denni.
Dalam mewujudkan proyek infrastruktur, pemerintah pun tidak hanya mengandalkan utang. Namun, pemerintah melakukan berbagai cara kreatif untuk pembiayaan infrastruktur. Salah satunya melalui Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA).
Chief Executive Officer PINA Eko Putro Adijayanto mengungkapkan, PINA berfungsi sebagai terobosan dalam pembiayaan pembangunan di luar anggaran pemerintah. Untuk menjalankan peran ini, ada tiga hal yang dikerjakan PINA, yaitu fasilitasi investasi, project pipelining, dan pembentukan ekosistem sehingga proyek dapat dijalankan.
Berbagai alternatif pembiayaan kreatif itu diperlukan sejalan dengan kebutuhan investasi infrastruktur Indonesia yang masih sangat besar. Eko menjelaskan, saat ini kesenjangan ketersediaan infrastruktur Indonesia dengan negara-negara lain masih lebih dari 30%. Penyebabnya, banyak proyek yang sudah direncanakan puluhan tahun silam namun tidak dilaksanakan.
Pembangunan infrastruktur yang sudah sekian lama ditunda-tunda dengan berbagai alasan itu pada akhirnya juga menyebabkan biaya pembangunan saat ini lebih tinggi dibandingkan ketika membangun 10-30 tahun silam.
Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, pemerintah memang mau tak mau memberikan penugasan kepada BUMN. Sebelum penugasan BUMN, ada banyak sekali proyek infrastruktur yang konsesinya dipegang swasta tidak dikerjakan alias mangkrak selama bertahun-tahun. Setelah diambil alih BUMN, proyek-proyek tersebut mulai terlihat wujudnya dan dirasakan manfaatnya oleh publik.
Sementara ekonom dan Rektor Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta A. Prasetyantoko menilai, pembangunan infrastruktur merupakan kebutuhan yang mendesak bagi Indonesia. Sebab, Indonesia dikenal sebagai negara dengan biaya logistik tinggi.
“Competitiveness kita masih rendah. Untuk meningkatkan competitiveness itu perlu pembangunan infrastruktur,” jelas Rektor Unika Atma Jaya ini.
Kendati getol membangun infrastruktur, Prasetyantoko menilai keuangan pemerintah justru membaik. Kenaikan nilai utang tidak membebani APBN seperti yang ditudingkan sejumlah pihak. Ini terlihat dari defisit yang semakin kecil. Tahun 2018, outlook defisit anggaran hanya 2,12% dari produk domestik bruto, membaik dari tahun 2017 sebesar 2,51%. Tahun ini, defisit anggaran diperkirakan kembali menciut menjadi hanya 1,8%.
Reporter : Arianto