Usai Taraweh di sebuah surau di bilangan Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat ternyata tidak selesai setelah mendengar ceramah menjelang sholat Witir saja. Yang menarik pembicaraan bukan lagi mengenai soal pahala dan dosa. Tapi tentang kekuatiran terjadinya gejolak sosial seperti 1998 lalu.
Sang ustadz menguatiri atas ketidakstabilan dan ketegangan dalam masyarakat yang memicu konflik, protes. Dan berbagai faktor telah terlihat, seperti ketidakadilan sosial, kemiskinan, diskriminasi, ketidakpuasan terhadap pemerintah, dan krisis ekonomi.
Menurut sang Ustadz ada beberapa ciri-ciri gejolak sosial:
- Ketidakpuasan: Masyarakat merasa tidak puas dengan kondisi sosial, ekonomi, atau politik.
- Protes: Masyarakat melakukan protes, demonstrasi, atau aksi lainnya untuk menyatakan ketidakpuasan mereka.
- Kekerasan: Gejolak sosial dapat memicu kekerasan, baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat.
- Kerusuhan: Gejolak sosial dapat berujung pada kerusuhan, penjarahan, dan kerusakan properti.
"Beberapa penyebab gejolak sosial meliputi: Ketidakadilan sosial dimana telah terjadi ketidaksetaraan dalam akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya. Disparitas antara Kemiskinan dan Kekayaan yang tinggi dapat memicu ketidakpuasan dan frustrasi." Ujar sang Ustadz yang biasa dipanggil Ustadz Tengku.
Belum lagi terjadi diskriminasi dimana perlakuan diskriminatif berdasarkan ras, agama, gender, atau status sosial mengemuka tanpa ada Pemecahan yang memadai. Ditambah dengan praktek korupsi dalam pemerintahan dapat memicu ketidakpercayaan dan ketidakpuasan dimana-mana..
Korupsi Pertamina merupakan skandal terbesar yang mengguncang Negeri ini. Dimana Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, termasuk subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), periode 2018-2023.
Dugaan korupsi ini diperkirakan telah menyebabkan potensi kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun hanya dalam kurun waktu satu tahun. Jika pola korupsi berlangsung selama 2018-2023, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 968,5 triliun.
"Baru di tingkat petinggi Pertamina yang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; dan Agus Purwono, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional. Kejagung telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk dua pejabat dari Kementerian ESDM."lanjut sang Ustadz.
Menurut Ustadz korupsi Pertamina ini telah memicu kemarahan publik, yang merasa uang negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, justru dikorupsi oleh oknum pejabat. Kasus ini juga menjadi sorotan media dan menuai kritik tajam dari berbagai pihak.
Ia berharap Kejagung dapat mengungkap kasus ini secara tuntas dan menjerat para pelaku korupsi, serta mengembalikan kerugian negara yang telah ditimbulkan.
Beberapa kiat untuk menghindari terjadinya gejolak sosial antara lain:
Pertama, meningkatkan keadilan sosial dengan membenahi ketidaksetaraan dalam akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya. Kedua, mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program-program sosial dan ekonomi yang tepat.
Ketiga, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, dan yaitu dengan membangun pemerintahan yang bersih dan transparan. Keempat, terdakwa membuka ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat untuk menyelesaikan konflik. Kelima, melindungi hak-hak kaum pribumi setempat atas tanah mereka yang telah dirampas dengan harga murah oleh para oligarki hitam bekerja sama dengan aparat desa dan institusi negara.
"Menurut kami, gejolak sosial adalah masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan multidimensi untuk mengatasinya. Perlu dibangun toleransi dan persatuan masyarakat yang sebagai yang ada dalam sila ketiga dari Pancasila," tutup Ustadz Tengku. **