Di tengah dinamika sosial dan ekonomi yang kian kompleks, tuntutan terhadap integritas hakim, aparatur peradilan, dan penegakan hukum yang adil semakin mengemuka. Publik menaruh harapan besar agar lembaga peradilan mampu menjadi benteng terakhir keadilan yang tak tergoyahkan.
Namun, fakta di lapangan terkadang berkata lain. Munculnya sejumlah kasus yang menodai nama baik lembaga peradilan, khususnya di kota besar seperti Jakarta, telah menimbulkan keresahan masyarakat. Penegakan hukum yang seharusnya menjadi solusi, justru menjadi sumber polemik. Hal ini menunjukkan pentingnya pembenahan menyeluruh, baik secara struktural maupun moral.
Menurut pengamat hukum, upaya menjaga marwah lembaga peradilan harus dimulai dari kesadaran individu. “Aparatur peradilan bukan hanya sekadar profesi, tapi panggilan hidup. Mereka sudah bersumpah di bawah kitab suci untuk menegakkan hukum yang berkeadilan,” ujarnya.
Dalam konteks ini, Mahkamah Agung (MA) memiliki peran strategis dalam mengawasi dan membina seluruh aparaturnya. Salah satu langkah penting adalah melakukan rotasi hakim secara periodik. Rotasi ini bukan semata soal penyegaran, tetapi juga memotong akses terhadap praktik kolusi yang bisa menggerogoti integritas hakim dan lembaga peradilan secara umum.
Tak hanya rotasi, pembinaan mental dan peningkatan kapasitas secara berkala juga menjadi kebutuhan mendesak. Mengingat tantangan aparatur peradilan kini tidak hanya berkaitan dengan teknis hukum, tetapi juga godaan hedonisme, tekanan eksternal, hingga intervensi ekonomi-politik.
Di sisi lain, sistem peradilan juga dituntut untuk membangun kultur kolektif yang kuat. Tidak cukup hanya satu-dua hakim yang berintegritas; seluruh jajaran mulai dari hakim, panitera, hingga staf administratif perlu berada dalam satu irama: menegakkan keadilan.
Komitmen integritas harus dibentuk dalam sistem, bukan hanya slogan. Salah satunya melalui digitalisasi proses peradilan, evaluasi berkelanjutan, dan pelatihan integritas. Karena tantangan ke depan semakin canggih, dan penyimpangan hukum bisa terjadi dalam bentuk yang makin tersembunyi.
Kebijakan MA untuk terus melakukan pengawasan internal, membangun sistem rotasi hakim, serta memperkuat pembinaan SDM aparatur peradilan patut diapresiasi. Apalagi, reformasi lembaga peradilan bukan hanya soal penegakan hukum, tapi juga membangun kepercayaan publik.
“Ketika masyarakat tidak percaya pada pengadilan, maka kita sedang membangun kehancuran secara diam-diam. Itulah mengapa, pembinaan integritas bukan pilihan, melainkan keharusan,” jelas seorang pakar etik hukum.
Lebih lanjut, keadilan tidak boleh hanya menjadi narasi indah dalam buku hukum. Ia harus hadir nyata di ruang-ruang sidang, dalam setiap keputusan hakim, dan dalam setiap perlakuan terhadap pencari keadilan. Aparatur peradilan wajib menjadi cermin keadilan itu sendiri.
Reformasi sistem peradilan juga harus didorong oleh keterlibatan publik. Masyarakat berhak mengawasi proses peradilan dan mengkritisi jika terjadi penyimpangan. Di sisi lain, publik juga perlu diedukasi agar memahami mekanisme hukum secara proporsional.
Dengan kolaborasi antara MA, DPR, lembaga pengawasan, serta masyarakat sipil, supremasi hukum yang adil dan bersih bukan hal yang mustahil. Tentu, perjalanan panjang ini hanya bisa dicapai jika integritas hakim dan aparatur peradilan menjadi fondasi utama.
Ke depan, penegakan hukum yang berkeadilan harus menjadi arah bersama. Bukan hanya semboyan institusional, tetapi menjadi bagian dari identitas bangsa. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang hukum dan keadilannya berdiri tegak.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar