Keinginan sederhana Ike Farida untuk menjaga kesehatan suaminya yang baru saja menjalani operasi jantung justru berubah menjadi mimpi buruk. Setelah membeli satu unit apartemen di Casa Grande Residence, Jakarta Selatan, dengan harga Rp 3,05 miliar secara tunai, ia kini harus menjalani hari-harinya di balik jeruji Rutan Pondok Bambu. Bukan karena melakukan kejahatan, tetapi karena menuntut haknya sebagai konsumen.
Kasus bermula saat Ike dan suaminya yang berkewarganegaraan asing memutuskan untuk tinggal lebih dekat ke rumah sakit dan kantor, demi efisiensi waktu dan kondisi sang suami yang harus rutin kontrol jantung. Apartemen Casa Grande dipilih karena lokasinya yang strategis.
“Dari awal, pengembang janji harga spesial kalau dibayar lunas. Mama dan papa kumpulin uang 10 tahun, bahkan sampai pinjam, demi kesehatan papa,” kata Alya Hiroko Oni, anak sekaligus kuasa hukum Ike saat ditemui awak media di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (25/10/2024).
Namun, setelah pembayaran dilakukan, pihak pengembang, PT Elite Prima Hutama (EPH), justru menolak menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan alasan Ike adalah istri dari WNA. Padahal, tidak ada aturan hukum yang secara eksplisit melarang istri WNA memiliki hak atas apartemen strata-title.
“Mereka pakai alasan hukum untuk mengulur waktu. Kami hanya ingin semuanya berjalan sesuai aturan,” ujar Alya.
Lebih ironis lagi, EPH kemudian menawarkan Akta Jual Beli (AJB) yang baru bisa dilakukan lima tahun kemudian — jelas bertentangan dengan hukum pertanahan. Saat keluarga meminta agar ketentuan itu dicantumkan dalam perjanjian, pengembang menolak.
Alih-alih menyelesaikan masalah, Ike justru ditangkap oleh 80 personel Polda Metro Jaya pada 4 September 2024, atas laporan balik dari pengembang. Banyak kalangan menyebut penangkapan ini sebagai bentuk kriminalisasi konsumen.
Kasus ini menjadi cerminan buram hukum properti di Indonesia. Ketika konsumen membayar lunas, mengikuti prosedur, dan menuntut hak secara sah, justru mereka yang diposisikan sebagai pihak bersalah.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar