Dunia hari-hari ini dibuat sesak napas akibat perlombaan "gila" yang dipertontonkan Amerika Serikat dan China atau Tiongkok.
Bagaimana tidak, di tengah kondisi perekonomian global yang merosot imbas pandemi Covid-19 dalam beberapa tahun terakhir, kini situasi kembali diperparah oleh perang tarif yang melibatkan dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Apa yang membuat kondisi dunia benar-benar tidak aman, tak lain dikarenakan baik AS maupun Tiongkok sama-sama saling mempertunjukkan keperkasaan sehingga tak satupun mau menundukkan kepala.
AS yang selama ini mengklaim diri paling dirugikan akibat perdagangan yang tidak adil, salah satunya dipicu oleh rival dagang Tiongkok, benar-benar semakin murka.
Di tangan Presiden Donald Trump yang terkenal punya pendirian berbeda dari pendahulunya menciptakan sederet kebijakan baru yang sukar diprediksi di awal.
Tidak hanya itu, keputusan di luar dugaan juga membuat dunia belakangan kelabakan bahkan "pusing tujuh keliling" lantaran tarif dasar 10 persen yang dibebankan ke seluruh mitra dagang terkecuali Rusia dan Korea Utara.
*Tensi Perang Dagang AS-Tiongkok*
Kalau kita mencermati dengan seksama, perang dagang antara AS-Tiongkok semakin memasuki babak baru yang jauh lebih ekstrem dari yang pernah terjadi sebelumnya.
Trump yang semula mendaku diri sebagai presiden AS paling superior untuk mengembalikan masa kejayaan AS melalui slogan "Make America Great Again", mencoba meyakinkan perkataannya dengan seabrek kebijakan "proculiar" yang sukar dipercaya.
Dunia semula tidak pernah membayangkan akan berlangsung seperti saat ini di mana seluruh negara dengan pengecualian Rusia dan Korut berlakukan tarif asimetris dengan tarif dasar 10 persen.
Menariknya, tarif pokok ini menyasar ke semua mitra dagang, bahkan negara-negara yang dianggap sekutu terdekat AS seperti Australia, Hong Kong, Taiwan dan Singapura pun harus terkena dampak.
Ini sungguh di luar tebakan. Di samping tarif dasar 10 persen, beberapa negara yang masuk dalam daftar paling surplus atas perdagangan dengan AS juga dikenakan tarif impor tinggi, sebut saja Lesotho (50%), Kamboja (49%), Laos (48%), Madagaskar (47%), Vietnam (46%), Myanmar (44%), dan masih banyak lagi, termasuk Indonesia (32%).
Namun, pengenaan tarif asimetris itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan yang diterima Tiongkok.
Mula-mula Trump memberlakukan tarif impor untuk barang-barang AS dengan besaran 34%. Namun, angka persentasenya terus meningkat seiring dengan balasan tarif (retaliasi) yang dilakukan Tiongkok atas barang-barang AS yang masuk ke Tiongkok.
Perang tarif resiprokal ini memicu kemarahan Trump sehingga ia pun membalas Tiongkok dengan terus melipatgandakan angkanya sehingga terkini mencapai 145%. Gila!
Ini benar-benar sulit diterima secara akal sehat. Bahkan dengan menggunakan rumus ekonomi apapun.
Itu artinya, setiap barang Tiongkok yang masuk ke AS harus dibebankan biaya pajak sebesar 145% atas harga barang tersebut.
Yang membuat dunia semakin ketar-ketir adalah imbas perang tarif ini bukan hanya akan berdampak pada kondisi ekonomi kedua negara, melainkan negara-negara mana saja yang memiliki hubungan dagang dengan AS dan Tiongkok.
Itu artinya, hampir mustahil satupun negara di muka bumi ini yang benar-benar terhindar sepenuhnya atas imbas keruntuhan ekonomi AS dan Tiongkok, mengingat semua negara hampir benar-benar terhubung dalam relasi dagang baik dengan AS maupun Tiongkok.
Lantas, bagaimna dengan Indonesia?
*Indonesia Harus Bagaimana?*
Pertanyaan Indonesia harus bagaimana, merupakan pertanyaan semua warga negara baik itu para pengusaha birokrat, akademisi maupun masyarakat biasa.
Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak sekadar menjadi bagian dari mitra dagang AS dan China.
Lebih dari itu, Indonesia merupakan negara yang sangat dekat secara bisnis dengan kedua negara champion tersebut, terutama dengan Tiongkok.
Sebagaimana mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Tiongkok merupakan negara dengan tujuan ekspor terbesar produk dalam negeri.
Pada tahun 2023, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 64,93 miliar dolar AS. Adapun produk andalan Indonesia untuk diekspor ke China adalah paduan besi ferro alloy, lignit, batu bara, nikel, dan gas petroleum.
Sementara, di posisi kedua adalah AS atau negara Paman Sam. Ekspor Indonesia dengan tujuan Amerika Serikat mencapai 23,25 miliar dolar AS pada tahun 2023. Produk ekspor ke AS didominasi oleh minyak kelapa sawit, ban karet, dan tekstil.
Selain kedua negara adidaya, Jepang, India dan Singapura adalah negara mitra dagang Indonesia berikutnya yang masing-masing menempati urutan ketiga, keempat dan kelima.
Bertolak dari data statistik di atas dapat disimpulkan bahwa ketidakpastian ekonomi dunia yang dimotori oleh perang dangan AS-Tiongkok akan membawa efek domino yang luar biasa, khususnya Indonesia.
Lantas, apa langkah solutif yang harus diambil pemerintah Indonesia?
Pertama, pemerintah perlu memastikan bahwa fondasi perekonomian nasional harus benar-benar kokoh di tengah hantaman keras badai tarif yang dibebankan AS ke negara-negara di dunia.
Kedua, penyesuaian regulasi. Indonsia sejak dulu menjadi target pasar negara-negara industri maju seperti AS dan Tiongkok.
Barang-barang elektronik hingga kebutuhan pokok semuanya masuk dengan cukup masif dan leluasa ke pasar domestik.
Jika tidak dilakukan pengetatan melalui regulasi importasi produk dari luar, maka perang tarif ini akan berdampak serius terhadap pasar dalam negeri.
Negara-negara yang menjadi target tarif tinggi AS pasti akan mencari pasar-pasar baru yang lebih akomodatif dan menguntungkan untuk dipenetrasi.
Terutama dari Tiongkok yang saat ini sedang mengalami pengenaan tarif tinggi AS, akan melabuhkan barang-barang yang semula diekspor ke AS dialihkan ke pasar-pasar potensial yang baru seperti Indonesia.
Sudah bukan rahasia lagi, kita kerap kalah saing dengan Tiongkok dalam urusan dagang. Mulai dari harga yang kompetitif, hingga kualitas barang.
Jika tidak ada regulasi yang mendukung produk dalam negeri, maka perang dagang ini akan menjadikan Indonesia sebagai pasar empuk Tiongkok dan negara-negara korban tarif AS lainnya untuk siap menyerbu Indonesia.
Ketiga, komunikasi dengan pelaku usaha harus diintensifkan. Pemerintah harus terus menjalin komunikasi intensif dengan pelaku usaha dalam negeri.
Tujuannya untuk memastikan setiap perubahan eskalasi ekonomi global dapat tertangani secara tepat.
Karena biar bagaimanapun, dunia usaha merupakan sektor yang paling terkena imbas akibat kebijakan tarif AS ini.
Terakhir, pemerintah perlu melakukan pendekatan komunikasi dengan AS dan Tiongkok untuk mengambil manfaat di tengah perang dagang ini.
Biar bagaimanapun, di balik kondisi tidak menentu ini, tetap saja ada hikmah dan hal positif yang bisa dipetik.
Tinggal bagaimana memanfaatkan situasi yang ada melalui pendekatan cerdik demi keluar dari tekanan dan himpitan yang ada.
Penulis: Yakub F. Ismail, Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar