Pertemuan empat antara antara dua tokoh bangsa, Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri akhirnya terlaksana.
Jauh sebelum itu, rencana pertemuan kedua figur hanya sebatas rumor. Beberapa kali media sempat memberitakan bahwa keduanya akan bertemu dalam waktu yang telah ditentukan.
Namun, seiring berjalannya waktu, agenda tatap muka kedua sosok berpengaruh itu tidak pernah terwujud.
Banyak faktor diyakini sebagai pemicu, salah satunya terkait perbedaan sikap dan pandangan politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Akan tetapi, perbedaan itu tidak menjadi sebuah rintangan untuk menciptakan garis demarkasi di antara mereka.
Politik elektoral memang sejatinya hanyalah sebuah sarana untuk merotasi kekuasaan. Ia bukan satu-satunya instrumen untuk menentukan arah bangsa.
Benar, bahwa melalui Pemilu, kekuasaan dapat ditransformasikan ke arah yang dikehendaki bangsa. Karena di sana, semua pertaruhan masa depan bangsa akan diuji.
Pemenang kontestasi dengan begitu, sudah pasti mereka yang dianggap berhak atau paling layak untuk memimpin republik.
Dalam momentum yang sama, para elite politik diuji seberapa siap menerima hasil itu.
Keikhlasan menerima hasil, dewasa dalam menghadapi ujian dan yang terpenting adalah kematangan dalam mengelola demokrasi menjadi hal yang harus dikedepankan.
Dan semua itu telah dibuktikan dengan sungguh-sungguh oleh kedua figur representasi bangsa.
*Dasco dan Seni Komunikasi Politik*
Harus diakui bahwa mempertemukan atau lebih tepatnya upaya mewujudkan pertemuan antara Presiden ke-5 RI dengan dengan Presiden saat ini memang bukan pekerjaan mudah.
Dalam tulisan saya sebelumnya sudah saya sampaikan bahwa ada sosok yang harus diapresiasi di balik terwujudnya pertemuan Prabowo-Megawati ini.
Sosok itu tak lain Sufmi Dasco Ahmad, yang saat ini mengemban tugas sebagai Ketua Harian Partai Gerindra dan Wakil Ketua DPR RI periode 2024-2029.
Peran Dasco di balik pertemuan ini meski tidak begitu nampak di hadapan publik, namun pengaruhnya sangat penting.
Memang, bagi mereka yang tidak melihat langsung perannya, pasti akan berpikir bahwa Dasco hanyalah sosok yang sesekali ditunjuk menjadi komunikator Prabowo.
Namun, orang lupa, atau tepatnya tidak menyadari bahwa kemampuan Dasco dalam merajut komunikasi di level elite adalah satu yang terbaik saat ini.
Harus diakui bahwa kemampuan atau seni membangun komunikasi politik di republik ini tidak kekurangan aktor.
Namun, pada level yang lebih tinggi, kualitas seorang komunikator politik akan benar-benar diuji. Sejauh mana ia mampu merajut kepingan komunikasi yang ada sehingga menghasilkan sebuah persenyawaan kesepahaman dan kesepakatan.
Dan itu memang tidak mudah. Kalaupun itu dianggap mudah, tentu aktor-aktor komunikasi politik depan layar yang selama ini kerap tampil di berbagai televisi sudah pasti ditunjuk sebagai penghubung komunikasi.
Dengan kata lain, seorang aktor komunikasi politik adalah ia yang tidak hanya mengandalkan pengetauan yang luas tentang seluruh topik relevan yang menjadi kebutuhan penerima pesan.
Ia juga tidak sekadar menguasai seluruh bentuk dan jenis teori-teori dan keterampilan-keterampilan dalam mengelola bahasa dan menciptakan impresi yang memikat lawan bicara.
Singkatnya, kesuksesan seorang komunikator politik bukan pada penguasaan teori dan skill tentang manajemen pesan dan kesan.
Lebih dari itu, ia harus punya apa yang disebut sebagai penguasaan psikologis yang baik untuk menundukkan lawan bicara.
Kualitas yang terakhir ini memang sesuatu yang tidak bisa digapai dengan hanya membaca buku-buku seputar strategi komunikasi publik.
Akan tetapi, semua itu didapatkan dari sebuah proses pengalaman yang panjang, dari ruang-ruang kecil organisasi hingga yang berskala luas, dari pengalaman mengelola komunikasi di level mikro sampai yang makro, dari kepiawaian membangun komunikasi di aras populer/massa hingga elite superior.
Dan kini kualitas itu ditunjukkan oleh Dasco dalam keberhasilannya memecah kebuntuan komunikasi di antara Prabowo dan Megawati. Apresiasi harus diberikan padanya.
*Apa Makna Penting Pertemuan Itu?*
Hingga detik ini publik masih bertanya-tanya apa sebenarnya esensi di balik pertemuan antara Prabowo dan Megawati?
Apakah pertemuan keduanya membawa implikasi serius terhadap masa depan bangsa? Atau, apakah pertemuan keduanya ada kaitannya dengan nasib dunia usaha dalam negeri? Atau, adakah dampaknya bagi masyarakat yang kini tengah menjerit karena kerasnya persaingan hidup?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa ditambah sesuai konteks saat ini. Dalam artian, apa pentingnya rakyat kecil hari ini dengan hasil pertemuan itu.
Memang, kalau dimaknai secara kasat mata tidak ada yang terlalu berarti dari pertemuan itu. Toh, orang juga bisa menarik kesimpulan bahwa itu paling sekadar pertemuan dua orang yang telah lama tak jumpa dan sekadar berbagi kabar.
Tanpa memahami lebih dalam esensi pertemuan tersebut, publik juga pasti akan berkesimpulan tidak jauh berbeda: paling ujung-ujungnya hanya membahas kepentingan kelompok-kelompok itu saja.
Menarik untuk dicermati bahwa pertemuan yang berlangsung di Teuku Umar itu menyisakan banyak lubang pertanyaan.
Pasalnya, pertemuan itu terjadi secara tertutup sehingga tak satupun pokok pembicaraan yang berhasil terliput oleh media yang tengah mengintip dari luar.
Beberapa bocoran hasil pertemuan itu pun justru didapatkan publik melalui wawancara media dengan Dasco.
Tentu, pernyataan singkat yang diucapkan Dasco di hadapan media tidak bisa menjelaskan keseluruhan dari apa yang menjadi inti pembahasan Prabowo-Megawati di dalam ruangan yang rahasia itu.
Dan itu benar, Dasco dengan terbuka menyatakan tidak mengetahui pasti (mendengar dengan jelas) isi pembicaraan itu.
Dengan begitu, informasi apa yang bisa diketahui publik tentang pertemuan terebut, selain dari apa yang didengar melalui Dasco?
Upaya menyelami makna pertemuan itu mau tidak mau harus dilalui dengan proses imajinasi sosiologis.
Charles Wright Mills yang turut mempopulerkan istilah ini menafisrkan imajinasi sosiologis sebagai kemampuan untuk memahami sejarah dan biografi serta hubungan-hubungan di antaranya dengan masyarakat.
Memang konteksnya sedikit berbeda dari apa yang dikonstatir Mills, namun esensinya tetap sama. Bahwa dalam proses ini, seorang interpretator harus mampu menyelam dalam labirin relasi-relasi sosial yang menghubungkan kedua tokoh dalam setting sejarah dan peristiwa-peristiwa spesifik yang menyertainya.
Dengan kata lain, semua bisa ditebak mengenai alur pembicaraan keduanya, tatkala penafsir (publik) merangsek masuk ke dalam bingkai relasi sosial-politik, tempat di mana keduanya terhubung secara historis, kekinian dan akan datang.
Dengan begitu, kita dapat menarik benang merah bahwa tidak akan jauh pokok pembicaraan mereka, kalau bukan membahas tentang kondisi negara hari-hari ini, akibat rentetan peristiwa historis sebelumnya dalam merespons dinamika dan tantangan yang ada.
Bahwa keduanya sudah pasti memiliki atensi dan agenda yang sama untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, adil, mandiri dan berdaya saing global.
Untuk mewujudkan itu, keduanya mau tidak mau harus bergandeng tangan. Prabowo sebagai presiden an sich tetap membutuhkan dukungann untuk menjalankan roda kekuasaan.
Tanpa dukungan yang besar, sulit baginya untuk menangkal setiap tantangan dan hadangan yang datang baik dari dalam maupun dari luar.
Tantangan dari dalam sudah pasti, bagaimana menyatukan berbagai elemen kekuatan sosial-politik yang tercerai berai.
Sedangkan, dari luar, ekses negatif globalisasi yang menghantan sendi perekonomian negara menjadi tantangan serius yang butuh energi besar untuk meng-counternya.
Untuk itu, rakyat Indonesia harusnya bergembira dalam menyambut pertemuan itu. Sebab, dari sana, harapan kita untuk mewujudkan cita-cita pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai amanat konstitusi.
Penulis: Yakub F. Ismail, Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar