Dewan Perwakilan Rakyat akan mengesahkan rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Jumat, 20 Maret 2025 ini. Hal tersebut merupakan pukulan telak bagi demokrasi, supremasi sipil, dan amanat Reformasi 1998.
Kami, PARA Syndicate, dengan tegas mengecam pengesahan revisi UU TNI sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara demokratis yang berbasis supremasi sipil. Berikut alasan kami bersikap demikian:
1. Democratic Backsliding: Demokrasi Dikikis melalui Legislasi Otoriter
Demokrasi tidak selalu dihancurkan oleh kudeta militer atau pembubaran parlemen, tetapi sering kali dikikis dari dalam melalui regulasi yang tampak sah secara hukum, namun melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri. Pengesahan revisi UU TNI ini merupakan contoh nyata dari autogolpe atau self-coup—proses di mana sebuah pemerintahan mengkudeta diri sendiri melalui instrumen hukum untuk memperkuat dominasi kelompok tertentu. Dalam hal ini, supremasi sipil dikorbankan demi kepentingan elite politik dan militer.
2. Proses Legislasi yang Cacat: Tertutup, Elitis, dan Tidak Demokratis
Pengesahan revisi ini dilakukan dengan cara yang jauh dari prinsip deliberasi demokratis. Tidak ada konsultasi publik yang memadai, proses legislasi berlangsung secara diam-diam, dan naskah akademiknya hanya terdiri dari 28 halaman dengan kepustakaan hanya satu halaman—indikasi nyata bahwa kebijakan ini dipaksakan tanpa kajian mendalam. Lebih ironis lagi, pembahasan dilakukan di hotel bintang lima, di bawah penjagaan ketat pasukan Kopassus, seakan-akan ini adalah operasi militer, bukan penyusunan regulasi sipil yang seharusnya transparan dan akuntabel.
3. Militerisasi Jabatan Sipil: Supremasi Sipil yang Dikubur
Reformasi 1998 secara tegas memisahkan ranah sipil dan militer dengan menghapus dwifungsi ABRI. Namun, dengan pengesahan revisi UU TNI ini, perwira aktif dapat menduduki jabatan di lebih banyak lembaga strategis, termasuk Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung—dua institusi yang seharusnya independen dari intervensi kekuatan bersenjata. Ini bukan sekadar pelanggaran prinsip demokrasi, tetapi langkah nyata menuju militerisasi birokrasi sipil yang bertentangan dengan konstitusi dan semangat Reformasi.
4. Pengkhianatan Total terhadap Amanat Reformasi
Reformasi 1998 adalah tonggak sejarah yang menghapus dominasi militer dalam politik dan pemerintahan sipil. Pengesahan revisi UU TNI ini adalah pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat yang telah mengorbankan nyawa dan darah demi demokrasi yang sehat. Dengan ini, Indonesia kembali ke pola lama di mana kekuatan bersenjata memiliki pengaruh dominan dalam pengambilan keputusan strategis negara.
DPR Telah Gagal: Dari Wakil Rakyat Menjadi Alat Kekuasaan Oligarki dan Militer
DPR RI yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru telah bertindak sebagai alat kepentingan politik yang menguntungkan oligarki dan elite militer. Keputusan ini membuktikan bahwa DPR lebih memilih melayani kepentingan kekuasaan daripada membela demokrasi dan supremasi sipil. Dengan memberikan jalan bagi militer untuk memperluas pengaruhnya di ranah sipil, DPR telah mengkhianati mandat rakyat yang memilih mereka untuk menjaga konstitusi dan nilai-nilai demokrasi.
PARA Syndicate Menyerukan Perlawanan Sipil!
Kami menegaskan bahwa perjuangan untuk mempertahankan demokrasi tidak berhenti di sini. Oleh karena itu, PARA Syndicate mendesak:
1. Tolak Revisi UU TNI.
Pengesahan revisi UU TNI memungkinkan Dwifungsi ABRI, yang telah dihapus, kembali lagi. Ini adalah langkah mundur bagi demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.
2. Tekanan Publik melalui Gerakan Sipil.
Di tengah pengkhianatan DPR dan pemerintah terhadap Reformasi, publik harus terus bersuara menolak implementasi UU ini; harus bersatu menolak segala bentuk kembalinya militerisme ke ranah sipil. Tekanan dari masyarakat, media, dan komunitas akademik harus terus diperkuat agar UU ini tidak semakin mempersempit ruang demokrasi.
3. Akuntabilitas dan Pengawasan terhadap TNI.
Dengan diberikannya akses lebih luas kepada TNI dalam pemerintahan sipil, masyarakat harus lebih aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan mengontrol potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh militer.
Demokrasi tidak boleh dibiarkan runtuh perlahan di depan mata kita. Jika publik tetap diam, maka pengesahan ini hanyalah awal dari kemunduran yang lebih besar. PARA Syndicate berdiri bersama rakyat dalam mempertahankan supremasi sipil dan menolak segala bentuk kembalinya militerisme ke dalam pemerintahan sipil.
Jakarta, 20 Maret 2025
Virdika Rizky Utama
Direktur Eksekutif PARA Syndicate
Tidak ada komentar:
Posting Komentar