Dalam rangka peringatan International Women's Day (IWD) 2025, isu perjuangan perempuan dalam konflik agraria kembali menjadi sorotan. Fatrisia, Ketua Jaringan JAGA DECA mengungkap fakta mencengangkan mengenai eksploitasi perempuan dan komunitas tani akibat penguasaan lahan oleh korporasi sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP) di Buol, Sulawesi Tengah.
"Salah satu temuan utama adalah bagaimana skema kemitraan sawit digunakan sebagai alat land grabbing. PT HIP menguasai 22.780 hektare Hak Guna Usaha (HGU) sejak 1998, memperluas pengaruhnya melalui berbagai skema, termasuk revitalisasi perkebunan dan program transmigrasi. Namun, di balik janji kesejahteraan, petani justru terjebak dalam utang koperasi yang mencapai Rp1 triliun," kata Fatrisia dalam Diskusi Publik PARARA dalam rangka Women's Day 2025 dengan tema "Hentikan Kriminalisasi! Wujudkan Perlindungan Hukum bagi Perempuan Pejuang Lingkungan dan HAM" di Jakarta, Jum'at (07/03/2025).
Dalam sistem agraria yang timpang ini, menurut dia, perempuan menjadi pihak yang paling terdampak. Banyak perempuan pemilik lahan kehilangan hak mereka dan terpaksa menjadi buruh tempel dengan upah rendah, hanya Rp23.000 hingga Rp40.000 per hari. Beban kerja yang berlipat dan kondisi kerja yang buruk sering berujung pada perceraian dan kematian.
Meskipun menghadapi represi, Fatrisia menegaskan, komunitas petani dan aktivis terus berjuang. Sepanjang 2024, sebanyak 23 aktivis-petani dikriminalisasi, termasuk 7 perempuan. Mereka melakukan konsolidasi dan pendidikan tani, aksi damai, serta melaporkan ke KPPU dan Komnas HAM untuk menuntut keadilan.
"Megaproyek 'Palm Oil Belt' seluas 1 juta hektare di Sulawesi Tengah dikhawatirkan memperburuk konflik agraria. Ruang gerak aktivis semakin dibatasi dengan keterlibatan TNI dan Brimob dalam mengamankan kepentingan perusahaan," ungkapnya.
Untuk mewujudkan keadilan agraria, langkah mendesak harus dilakukan, termasuk memberdayakan petani dan perempuan, menghentikan proyek sawit yang eksploitatif, serta mereformasi kebijakan kemitraan sawit. Melalui kampanye audiovisual, seperti film "Buol: Bertahan di Tanah Harapan," para aktivis terus menggalang dukungan untuk mengungkap realitas konflik agraria.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar