Bank Bali, salah satu pilar perbankan nasional sebelum krisis 1997, mengalami pengambilalihan kontroversial yang hingga kini menyisakan banyak pertanyaan. Diskusi Publik "Eksaminasi Atas Pengambilalihan Bank Bali", yang diselenggarakan oleh Kantor Hukum Kastara & Partners di Jakarta pada Rabu (12/02/2025), mengungkap berbagai fakta baru terkait kasus ini.
Letjen (Purn) Suharto, salah satu pembicara utama, menegaskan bahwa pengambilalihan Bank Bali bukan sekadar isu politik, tetapi juga masalah besar bagi stabilitas ekonomi dan keamanan negara. Ia menyoroti bagaimana investor asing, dengan dukungan otoritas perbankan, menggunakan berbagai taktik untuk mengambil alih Bank Bali, yang akhirnya berubah nama menjadi Bank Permata.
Suharto mengungkap bahwa dalam proses pengambilalihan ini, terdapat hambatan komunikasi yang disengaja, di mana surat penting dari Panglima ABRI tidak sampai ke Presiden. Hal ini memicu dugaan adanya manipulasi informasi untuk memuluskan akuisisi oleh pihak asing.
Selain itu, menurut akademisi Aby Maulana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), tekanan finansial terhadap Bank Bali semakin besar setelah pembayaran Rp500 miliar kepada PT Era Giat Prima (EGP). Dana ini, yang seharusnya digunakan untuk menjaga likuiditas Bank Bali, justru dialihkan secara ilegal, yang akhirnya mempercepat akuisisi oleh Standard Chartered Bank pada tahun 2000.
Para ahli dalam diskusi ini merekomendasikan langkah-langkah konkret untuk mengusut kasus ini:
• Mengusut tuntas seluruh pihak yang terlibat, termasuk internal Bank Bali, PT EGP, dan pejabat pemerintah.
• Memperketat regulasi perbankan guna mencegah pengalihan dana ilegal di masa depan.
• Memberikan kompensasi kepada pemilik asli Bank Bali, Rudy Ramli, sebagai bentuk keadilan finansial.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi sistem perbankan Indonesia, bahwa transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat guna menghindari kejadian serupa di masa depan.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar