Pada Kamis, 6 Februari 2025, Publik dikejutkan dengan adanya keributan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Peristiwa tersebut bermula, ketika Majelis Hakim menyatakan akan menggelar sidang pembuktian secara tertutup, Terdakwa Razman menolak keputusan Majelis Hakim tersebut. Akibatnya Majelis Hakim memutuskan menskor sidang.
Keputusan tersebut, membuat Terdakwa Razman dan penasihat hukumnya menghampiri Hotman Paris Hutapea, saksi dalam kasus ini, yang sedang duduk di kursi. Razman tampak menunjuk-nunjuk Hotman sambil terus meneriaki dan mencecarnya. Ruang sidang langsung berubah menjadi riuh. Apa yang terjadi adalah salah satu bentuk dari contempt of court.
Contempt of court adalah perbuatan tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan lembaga peradilan yang dapat mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman.
Dalam peristiwa contempt of court yang terjadi di Pengadilan Jakarta Utara, ada beberapa pihak yang turut andil, di antaranya adalah para advokat dari Terdakwa Razman. Para advokat tersebut berteriak hingga naik ke atas meja. Peristiwa tersebut menarik perhatian mengenai bagaimana mekanisme penindakan advokat yang melakukan contempt of court.
Mekanisme penindakan Advokat yang tersedia Belum Menjadi Solusi
Sampai saat ini, terdapat dua mekanisme untuk penindakan advokat yang melakukan contempt of court. Mekanisme yang pertama adalah penindakan etik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Ada beberapa jenis tindakan yang dapat dijatuhkan kepada advokat mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap.
Pada praktiknya penindakan etik terhadap advokat sulit dilaksanakan karena tidak adanya kesatuan organisasi advokat/multibar. Advokat yang telah diperiksa dan diberi tindakan di satu organisasi advokat bisa beralih keanggotaan ke organisasi advokat lainnya dan tetap dapat beracara di pengadilan seperti biasa sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Mekanisme kedua adalah penindakan pidana sebagaimana diatur dalam Bab VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berisikan delik-delik tindak pidana terhadap proses peradilan.
Kelebihan dari penindakan melalui mekanisme pidana adalah, timbulnya rasa jera dikarenakan terdapat ancaman pidana, mulai dari denda hingga penjara.
Kelemahannya adalah pertama, mekanisme penindakan secara pidana adalah ultimum remedium atau upaya terakhir sehingga sangat tidak bijak jika penyelesaian secara pidana dijadikan solusi yang utama dan pertama. Kelemahan kedua adalah, penyelesaian melalui mekanisme pidana memakan waktu yang lama dan proses yang berbelit-belit. Hal tersebut membuat para penegak hukum yang dirugikan dari suatu peristiwa contempt of court enggan menggunakan haknya karena harus berkorban waktu dan tenaga.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat terlihat kalau penindakan etik dan pidana memiliki kelemahannya masing-masing, yang membuat upaya pengawasan dan penindakan terhadap oknum advokat tidak berjalan dengan baik.
Untuk itu, penulis mencoba merumuskan salah satu bentuk penindakan yang dapat dilakukan oleh pengadilan secara langsung atas kewenangannya yaitu membuat sebuah daftar hitam atau blacklist.
Daftar hitam (blacklist) menurut black law dictionary diartikan sebagai daftar nama orang yang ditandai untuk dihindari disebabkan alasan tertentu, pertentangan, atau permusuhan dari pihak yang menyusun daftar tersebut atau beberapa pihak di antaranya yang ditujukan untuk digunakan dalam lingkup mereka. Daftar hitam adalah salah satu bentuk sanksi yang sifatnya administratif.
Kewenangan melekat pengadilan dalam fungsi pengawasan advokat.
Kewenangan pengadilan untuk mengawasi advokat dengan bentuk membuat sebuah daftar hitam advokat saat ini belum ada, namun jika kita melihat sejarah, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas penasihat hukum dan Notaris” dan Pasal 54 (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, menyebutkan bahwa: “Ketua Pengadilan Negeri mengadakan pengawasan atas pekerjaan penasihat hukum dan notaris di daerah hukumnya dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman”.
Lebih lanjut bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 067/PUU-II/2004 menyatakan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Namun dalam salah satu pertimbangannya pada halaman 33 berbunyi:
“Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berpendirian Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945, pendirian Mahkamah tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa advokat sama sekali terlepas dari pengawasan oleh pihak-pihak lain di luar organisasi advokat. Pemerintah, begitu pun lembaga peradilan, dengan sendirinya tetap memiliki kewenangan yang bersifat melekat (inherent power) untuk melakukan pengawasan di luar pengawasan profesional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Advokat, seperti halnya pengawasan terhadap organisasi advokat dan pengawasan terhadap advokat dalam beracara di persidangan pengadilan.”.
Sehingga didapatkan kesimpulan bahwa, pengadilan tetap memiliki kewenangan yang melekat (inherent power) dalam melaksanakan pengawasan terhadap advokat. Apabila dikaitkan dengan salah satu Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 2 Nomor 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” semakin menegaskan, bahwa pengadilan harus bertindak secara aktif untuk mewujudkan asas tersebut.
Pengawasan terhadap advokat adalah salah satu bentuk kewenangan melekat untuk mewujudkan asas tersebut dan menghindari terjadinya contempt of court yang dapat menghambat para pencari keadilan mendapatkan haknya.
Pembuatan daftar hitam untuk advokat ini, memiliki beberapa kelebihan dibandingkan penindakan etik maupun pidana. Pertama adalah, proses pemeriksaan hingga turunnya sanksi lebih cepat dikarenakan semua berada dalam satu atap yaitu pengadilan. Kedua, efek jera yang lebih terasa dikarenakan advokat yang masuk ke dalam daftar hitam tidak dapat beracara. Ketiga, karena daftar hitam advokat dipublikasikan ke masyarakat luas, maka akan membuat para advokat semakin berhati-hati (deterrence effect). Keempat, daftar hitam advokat akan berdasarkan perbuatan dari seseorang, sehingga pertanggungjawaban atas sanksinya juga akan melekat dan tidak terpengaruh oleh organisasi advokat yang menaunginya.
Praktik Baik Penerapan Pengawasan Advokat oleh Pengadilan di Luar Negeri
Praktik pengawasan advokat oleh pengadilan telah diterapkan dalam berbagai format di luar negeri. Amerika Serikat, mengenal konsep disbarment atau pencabutan hak beracara. Dasar filosofinya adalah, pengadilan di Amerika Serikat telah mendelegasikan kewenangan kepada asosiasi advokat (bar organizations) untuk memberikan izin beracara kepada advokat, yang tata caranya berbeda untuk masing-masing negara bagian.
Salah satunya adalah Negara Bagian North Carolina, dalam General Statutes Nomor 84 1936 menyatakan “Tidak ada hal apa pun yang terkandung dalam pasal ini [North Carolina State Bar] yang dapat ditafsirkan sebagai menonaktifkan atau mengurangi kewenangan yang melekat pada pengadilan untuk menangani pengacaranya.”
Hal tersebut dikuatkan dalam putusan tingkat banding perkara dengan register In re Northwestern Bonding Co., 16 NC App 272, 275 tahun 1972 yang menyatakan hal sebagai berikut:
“Selain itu, telah berulang kali dikemukakan bahwa di Carolina Utara terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk menjatuhkan tindakan disipliner atau pencabutan hak pengacara kepada pengacara, berdasarkan undang-undang (bar association) dan pengadilan. Metode pengadilan tidak bergantung pada otoritas undang-undang (bar association). Hal ini timbul karena kewenangan yang melekat pada pengadilan untuk mengambil tindakan disipliner terhadap pengacara yang memiliki izin sebelumnya.
Kekuasaan ini, didasarkan pada hubungan pengacara dengan pengadilan dan wewenang yang dimiliki pengadilan terhadap pejabatnya sendiri untuk mencegah mereka melakukan, atau menghukum mereka karena, tindakan ketidakjujuran atau ketidak pantasan yang diperhitungkan akan menimbulkan penghinaan terhadap penyelenggaraan peradilan".
Selain North Carolina, pengadilan di New York juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap advokat yang berdomisili maupun yang beracara di wilayahnya sebagaimana tertuang dalam Rules for Attorney Disciplinary Matters, 22 NYCRR Part 1240.
Peraturan tersebut, juga menjelaskan bahwa pengadilan dapat membentuk sebuah komite yang berisikan para praktisi hukum untuk memeriksa perkara terkait kode etik advokat. Komite tersebut memiliki kewenangan untuk menjatuhkan public discipline sebagaimana tertuang sebagai berikut:
“Dalam hal ditemukan bahwa seorang advokat telah melakukan pelanggaran profesi, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan dan dapat menjatuhkan sanksi disiplin atau mengambil tindakan lain yang diperbolehkan oleh undang-undang dan menurut pertimbangan pengadilan patut untuk melindungi masyarakat, menjaga kehormatan dan keutuhan profesi, dan/atau menghalangi orang lain untuk melakukan pelanggaran serupa. Pengadilan dapat menjatuhkan kecaman, penangguhan, atau pencabutan kehadiran. Keputusan disiplin ini bersifat publik.”
Mekanisme Pembuatan Daftar Hitam Advokat oleh Pengadilan
Pembuatan daftar hitam advokat memerlukan payung hukum dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang merupakan atribusi dari Undang-Undang kekuasaan Kehakiman. Isi dari Perma tersebut setidaknya terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Kriteria advokat yang masuk kedalam daftar hitam
2. Akibat dari pemberian sanksi administratif daftar hitam advokat
3. Mekanisme pemberian sanksi daftar hitam advokat
4. Mekanisme keberatan atas pemberian sanksi administratif advokat
5. Monitoring dan evaluasi
Di mana, hal tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Kriteria Advokat yang Masuk Kedalam Daftar Hitam
Kriteria advokat yang dapat masuk ke daftar hitam dapat mengambil kriteria yang telah diatur dalam Pasal 6 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yaitu:
c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
d. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
Hal tersebut dapat pula dikaitkan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Peradilan sebagai akibat dari adanya pelanggaran tata tertib persidangan mengingat PERMA tersebut tidak memberikan sanksi yang tegas akibat dari dilakukannya pelanggaran.
Selain itu, advokat yang telah mendapatkan putusan pidana juga dapat dikategorikan sebagai salah satu kriteria yang masuk daftar hitam.
2. Akibat dari pemberian sanksi administratif daftar hitam advokat
Akibat dari masuknya seorang advokat ke dalam daftar hitam adalah, yang bersangkutan tidak dapat beracara dalam jangka waktu tertentu untuk suatu wilayah yurisdiksi tertentu. Dengan memperhitungkan berat-ringannya pelanggaran yang dibuat oleh advokat.
Sebagai ilustrasi, pelarangan beracara tersebut bisa berdampak pada advokat di suatu wilayah hukum pengadilan tingkat pertama, tingkat tinggi, maupun secara nasional.
Advokat yang masuk kedalam daftar hitam juga akan mendapati akun ecourt yang bersangkutan dibekukan untuk sementara waktu.
Tentunya, dalam pembuatan daftar hitam, pengadilan harus mempertimbangkan hak dari para pencari keadilan. Jangan sampai pembuatan daftar hitam ini justru menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan. Maka, pembuatan daftar hitam tidak berlaku lampau (retroactive). Perkara-perkara yang ditangani oleh oknum advokat sebelum dijatuhkan sanksi tidak terdampak dari daftar hitam yang dikeluarkan pengadilan. Advokat tersebut, tetap dapat beracara terbatas untuk perkara-perkara yang telah ditangani sebelum jatuhnya sanksi tersebut untuk memenuhi kewajibannya kepada para pencari keadilan.
Pemberian sanksi daftar hitam ini, berlaku secara perorangan dan tidak terkait dengan suatu kantor hukum atau organisasi advokat. Sehingga, apabila seorang advokat masuk ke dalam daftar hitam, yang bersangkutan tidak akan dapat beracara meskipun berpindah kantor maupun keanggotaan organisasi.
Pengadilan yang memberikan sanksi daftar hitam juga akan mempublikasikan nama advokat dalam suatu papan pengumuman maupun website. Pengadilan tersebut juga akan melakukan proses pemberitahuan kepada organisasi advokat terkait sebagai sebuah peringatan.
3. Mekanisme pemberian sanksi daftar hitam advokat
Mekanisme pemberian sanksi daftar hitam advokat merupakan kewenangan dari pimpinan pengadilan disesuaikan dengan beratnya pelanggaran yang dilakukan advokat.
Sebagai contoh, untuk advokat yang akan dikenai sanksi daftar hitam pada yurisdiksi pengadilan tingkat pertama diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan diketahui Ketua Pengadilan Tinggi dan Badan Pengawasan MARI.
Untuk sanksi daftar hitam pada yurisdiksi pengadilan tingkat banding, diberikan oleh Ketua Pengadilan Tinggi dan diketahui oleh Ketua Mahkamah Agung dan Badan Pengawasan MARI.
Sedangkan sanksi daftar hitam yang berlaku nasional diberikan langsung oleh Ketua Mahkamah Agung.
Mekanisme pemberian sanksi ini, pengadilan bersifat aktif dalam artian tidak perlu menunggu laporan tetapi bisa langsung melakukan pemeriksaan. Dibutuhkan alat setidaknya dua alat bukti sebagaimana yang sudah diatur dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Bukti ini ,juga meliputi bukti elektronik seperti rekaman CCTV atau rekaman dari sosial media.
4. Mekanisme Keberatan atas Pemberian sanksi Administratif Advokat
Terhadap pemberian sanksi yang diberikan pengadilan, advokat yang keberatan dapat mengajukan pembelaan dalam jangka waktu tertentu. Advokat tersebut, juga dapat membawa bukti yang meringankan.
Apabila setelah advokat tersebut melakukan pembelaan tetapi tetap dijatuhi sanksi, maka yang bersangkutan dapat melakukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara
5. Monitoring dan Evaluasi
Pemberian sanksi daftar hitam ini memerlukan suatu monitoring dan evaluasi agar dapat dijadikan masukan ke stakeholder terkait
Penutup
Pemberian sanksi daftar hitam ini adalah suatu terobosan hukum dari kewenangan yang melekat (inherent power) yang dimiliki pengadilan. Namun, pemberlakukan sanksi daftar hitam ini memerlukan payung hukum agar dapat berjalan. Praktik pengawasan advokat oleh lembaga judicial telah dilakukan di berbagai peradilan di luar negeri dengan berbagai bentuk dan tata caranya.
Mekanisme yang disusun apabila ingin menjatuhkan sanksi daftar hitam haruslah mempertimbangkan hak dari para pencari keadilan dan juga check and balance di dalam institusi pengadilan. Terlebih, pengawasan advokat oleh lembaga pengadilan idealnya tidak perlu terjadi, apabila organisasi advokat secara proaktif melakukan pengawasan dan penindakan.
Penulis: Adhlan Fadhilla Ahmad
Editor: Tim MariNews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar