Mahkamah Agung menyatakan Tergugat (PT Rayon Utama Makmur) telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga dihukum membayar ganti kerugian materiil yang dialami Para Penggugat dan Anggota Kelompok yaitu berupa pembelian masker akibat bau busuk sebesar Rp277.500.000,00 dan pembelian obat-obatan sebesar Rp222.000.000,00. Tergugat juga dihukum untuk melakukan tindakan pemulihan dengan membuat rencana pemulihan sebagaimana ketentuan Pasal 55 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2023 yang diketahui dan disetujui serta pengawasan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo yaitu untuk meniadakan bau busuk, memasang dan memperbaiki unit pengolah limbah udara dan cair serta memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran udara dan air.
“Mengabulkan permohonan kasasi Para Pemohon Kasasi. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo. Mengadili sendiri: mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian,” demikian di lansir di website MA, Minggu (02/01/2025).
Putusan No. 4441 K/Pdt/2024 ini diucapkan pada hari Senin, 16 Desember 2024 oleh Prof. Dr. H. Hamdi, S.H., M.Hum sebagai Ketua Majelis, Maria Anna Samiyati, S.H., M.H., dan Dr. Lucas Prakoso, S.H., M.Hum sebagai Hakim Anggota, dengan Adhitya Ariwirawan, S.H., M.H., sebagai Panitera Pengganti.
Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) ini diajukan oleh Sarmi dan Slamet Riyanto mewakili 183 anggota kelompok yang sejak tahun 2017 terkena dampak pencemaran limbah yang dihasilkan oleh Tergugat dari produksi serat rayon sintetis ke aliran sungai Gupit, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo.
Pada awalnya Pengadilan Negeri Sukoharjo berpendapat tidak ada bukti yang sah dan valid yang menunjukan bahwa pencemaran Sungai Gupit tersebut terjadi akibat air limbah yang berasal dari pabrik Tergugat, sehingga PN Sukoharjo menolak gugatan Penggugat.
Di tingkat banding, putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang dengan pertimbangan pada saat yang bersamaan sedang dilakukan proses pidana terhadap Tersangka PT Rayon Utama Makmur, sehingga untuk menghindari adanya putusan yang saling bertentangan, maka Pengadilan Tinggi Semarang berpendapat gugatan premature sehingga gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Mahkamah Agung membatalkan putusan Judex Facti tersebut dengan pertimbangan sanksi perdata dan sanksi pidana dalam perkara lingkungan dapat dikenakan secara bersamaan tanpa harus menunggu satu dengan lainnya dan tanpa mengecualikan satu dengan lainnya. Inilah pendekatan yang dianut dalam penegakan hukum lingkungan, yaitu multidoor approach.
Mahkamah Agung juga berpendapat Judex Facti telah mengabaikan Laporan Hasil Uji Laboratorium, baik dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah dan dari Laboratorium Teknik Kimia Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang menerangkan adanya air yang tercemar, udara mengandung Hidrogen Sulfida (H2S) berakibat pada iritasi mata, hidung, tenggorokan, gangguan sistem pernafasan, sesak, mual, pusing, dan berdasarkan dua kali pemeriksaan kesehatan gratis, ditemukan total 232 warga terdampak dengan diagnosa 28 orang ISPA berat, 72 orang ISPA ringan, 56 orang dispepsia, dan 1 orang dermatitis.
Selain itu juga ada Surat Keputusan Bupati Sukoharjo Nomor 660.1/207 Tahun 2018 tentang Pemberian Sanksi Administratif dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berupa paksaan pemerintah dalam bentuk penghentian sementara selama delapan belas bulan kegiatan produksi kepada penanggung jawab Perusahaan Industri Serat Rayon PT Rayon Utama Makmur di Kabupaten Sukoharjo yang pada intinya menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan pencemaran lingkungan dan memerintahkan Tergugat untuk memasang Continuous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong Cimney, melakukan pengendalian emisi sehingga tidak menimbulkan bau yang mengganggu masyarakat, dan menyelesaikan pemasangan pipa pembuangan air limbah hasil pengolahan limbah dari Instalasi.
Judex Facti telah mengabaikan fakta masuknya limbah cair dari pabrik Tergugat ke Sungai Gupit melalui instalasi pipa air limbah yang patah sehingga Sungai Gupit menjadi tercemar, selain itu Tergugat ternyata juga tidak memiliki tempat Penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang berizin.
Dalam putusan ini Judex Juris menegaskan bahwa jikapun dalam menguji bukti-bukti ilmiah dari Penggugat dan Tergugat, ternyata ditemukan perbedaan atas hasil bukti-bukti ilmiah tersebut, seharusnya Judex Facti menerapkan precautionary principle (prinsip pencegahan dini) atau yang disebut dalam ketentuan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebut dengan asas kehati-hatian yang dalam penjelasan dari pasal tersebut dinyatakan: "yang dimaksud dengan asas kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Penggunaan asas ini adalah relevan dengan semakin banyaknya pencemaran lingkungan dari aktifitas yang dihasilkan dari kegiatan industri yang mengancam dan merusak lingkungan sehingga mengakibatkan hak-hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat terabaikan.
Pencegahaan dini disini dimaksudkan agar pencemaran baik udara maupun air yang terjadi sebagai akibat dari aktifitas Tergugat tidak semakin meluas dan dapat dikendalikan sehingga di satu sisi, kegiatan industri yang dapat meningkatkan kemakmuran bagi warga dapat terus berjalan namun lingkungan tetap dapat terjaga. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar