Pemasangan pagar laut sepanjang 30 km di perairan pesisir Tangerang kembali menguak dugaan kolusi ilegal antara pengusaha dan penguasa. Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM) atas laut, yang seharusnya mustahil diterbitkan secara hukum, justru dimiliki oleh dua perusahaan besar dan sejumlah individu.
Menurut Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, total terdapat 263 bidang HGB, dengan rincian PT Intan Agung Makmur memiliki 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa 20 bidang, dan 9 bidang milik perorangan. Selain itu, ada 17 bidang dengan SHM. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas proses administrasi di kementerian terkait.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, menegaskan bahwa penerbitan HGB dan SHM di atas laut adalah pelanggaran hukum serius. “Ini bukti nyata adanya praktik kolusi antara oknum pejabat ATR/BPN, pemerintah daerah, dan pihak perusahaan. Pemberian hak atas laut jelas bertentangan dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010, yang melarang pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3),” tegas Dani dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/01/2025).
Pagar laut ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga merampas ruang hidup nelayan kecil, yang bergantung pada laut sebagai sumber utama penghidupan. "Praktik ocean grabbing seperti ini memperburuk kemiskinan nelayan, yang tersingkir akibat pengkavlingan wilayah pesisir untuk kepentingan bisnis komersial, reklamasi pantai, atau penambangan pasir," ucapnya.
KNTI mendesak pemerintah untuk mencabut sertifikat ilegal, menghancurkan pagar laut, dan menyeret pelaku ke pengadilan. Kasus ini juga harus menjadi momentum untuk mengusut kasus serupa di wilayah lain, guna mengakhiri praktik privatisasi ruang laut.
"Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus meningkatkan pengawasan agar pemanfaatan ruang laut tidak hanya menguntungkan segelintir pihak tetapi juga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir," pungkasnya.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar