Memasuki Tahun baru. Sejuta harapan dan resolusi menyambut 2025 telah dipersiapkan segenap entitas, mulai dari yang miskin hingga yang kaya, juga yang awam hingga yang intelek.
Dari beragam harapan dan proyeksi itu, satu hal yang tidak bisa dinafikan saat ini yakni membijaksanai kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang baru saja diberlakukan.
Banyak yang berusaha memberikan pendapat, atau sekurang-kurangnya turut mengomentari keputusan tersebut.
Namun, kebanyakan pandangan masih didominasi oleh pandangan istana yang mayoritas mendukung beleid tersebut.
Seketika media pun kompak mempertegas maksud baik dari keputusan tersebut tanpa memeriksa lebih jauh apa sebetulnya implikasi yang bakal ditimbulkan, utamanya bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Menyikapi situasi ini, Ikatan Media Online (IMO) Indonesia, melalui tulisan ini mencoba memberikan sebuah pembacaan lain mengenai apa yang telah banyak disentil, atau tepatnya diafirmasi oleh sebagian besar elite politik hari-hari ini.
*Implikasi Kebijakan*
Banyak narasi berkembang di luar sana bahwa kebijakan PPN 12 persen adalah refleksi keinginan pemerintah untuk memperbesar kran pemasukan negara.
Meski hal itu tidak disebutkan secara eksplisit dari berbagai argumentasi yang disampaikan, tetap saja harus dipahami bahwa ini tidak lain dan tidak bukan, bagian dari upaya negara memaksimalkan pendapatan melalui berbagai instrumen yang ada.
Pajak, seperti kita ketahui, merupakan salah satu instrumen penting negara untuk menarik pendapatan guna membiayai seluruh kebutuhan operasional pembangunan dan pelayanan lainnya.
Dalam konteks itu, tidak ada lagi perdebatan apakah pajak itu penting atau tidak. Sebab, semuanya pasti setuju bahwa pajak adalah satu di antara berbagai cara negara mendapatkan pemasukan yang paling mungkin diandalkan.
Namun, persoalan muncul ketika mekanisme dan ukuran penerapan kebijakan pajak ini tidak selaras dengan kondisi yang ada.
Ambil contoh, seseorang atau sebuah badan usaha yang dikenakan pajak, jika cara dan besaran nilai yang diwajibkan kepada wajib pajak tidak realistis (sesuai kemampuan pembayar pajak), maka ini perlu dikoreksi.
Pengandaian di atas hanyalah perumpaan sederhana di tengah runyam dan kompleksnya dimensi perpajakan kita.
Kendati demikian, dari pengandaian sederhana di atas bisa kita tarik simpulan sederhana bahwa wajib pajak sejatinya tidak keberatan dengan kewajiban yang dibebankan negara kepadanya, sejauh hal itu tidak memberatkan dan di luar dari kemampuan untuk memenuhi.
Hal lain yang perlu ditelisik atau dicermati ialah soal kondisi. Kondisi ini menyangkut konteks pemberlakuan kebijakan itu sendiri.
Semua orang tahu bahwa dunia baru saja dilanda wabah Covid-19. Dan, kalau boleh jujur, dampak negatif dari wabah tersebut belum sepenuhnya pulih.
Sektor paling menderita akibat situasi suram ini yakni dunia usaha. Banyak fakta telah kita saksikan di mana perekonomian nasional baik kecil maupun besar mengalami keruntuhan massal akibat Covid-19.
Tak sedikit badan usaha yang gagal bangkit dari keterpurukan (gulung tikar), sementara lainnya masih harus terseok-seok di tengah ketidakpastian ekonomi global hari ini.
Logikanya, pemerintah selaku pembuat kebijakan (policy maker), membaca kondisi ini sebagai sinyal negatif (lemah) untuk kemampuan ekonomi nasional.
Dengan begitu, idealnya negara harus memberikan support berupa insentif atau kemudahan berusaha/berinvestasi, bukan justru membebani dengan menaikkan tarif pajak.
*Siapa yang Dirugikan*
Meskipun pemerintah terus menegaskan kebijakan ini hanya menyasar pada kelompok atau jenis barang tertentu, tetap saja implikasi kebijakan ini tidak bisa dibaca terpisah seakan tidak akan beririsan dengan sektor atau dimensi sosial lainnya.
Pertama, yang perlu dipahami ialah efek domino (domino effect) dari sebuah kebijakan. Sekecil apapun sebuah kebijakan (publik), sejauh ia merupakan kebijakan publik, dampaknya tetap saja dirasakan semua kalangan yang hidup dalam sebuah silang kelindan kehidupan sosial.
Ambil contoh, kenaikan harga emas. Sekilas, emas merupakan barang mewah yang bisa dinikmati kalangan menengah atas.
Jika pembacaan menggunakan kacamata awam, jelas sekali kebijakan tersebut tidak akan berdampak pada kelompok masyarakat yang hari-harinya berjualan di pasar tradisional, bertani di sawah, atau memancing di laut.
Namun, tanpa disadari efek domino kebijakan ini tetap saja sampai kepada mereka yang bahkan tidak pernah melihat secara nyata bentuk dan kandungan massa dari emas itu sendiri.
Lantas seperti dampak terselubung yang dirasakan masyarakat, bahkan masyarakat miskin sekalipun?
Mari kita andaikan ketika harga emas tiba-tiba naik, kelompok dari hulu hingga hilir yang terlibat langsung dengan produksi, distribusi dan konsumsi emas sudah pasti merupakan lapisan pertama yang paling bedampak.
Mereka mulai dari penggali emas yang hidupnya pas-pasan di daerahnya, pengolah emas, pembeli emas mentahan, toko-toko penjual emas hingga pajak atau royalty yang bisa diterima oleh negara.
Semua itu akan bermuara pada kondisi ekonomi secara makro. Jika trendnya positif maka akan mempengaruhi daya beli masyarakat dan berkontribusi pada postur keuangan negara.
Jika hal yang sama dikontekstualisasikan pada kenaikan PPN 12 persen, maka situasinya justru berbalik, di mana kelompok pengusaha adalah entitas yang paling pertama merasakan dampak kebijakan ini.
Jika dampak ini terus memburuk, maka bukan tidak mungkin tekanan terhadap operasional meningkat yang berujung pada pemangkasan tenaga kerja dan berimbas pada kenaikan harga-harga komoditas.
Ketika ini terjadi, maka siapa lagi kalau bukan masyarakat kecil yang menanggung akibatnya. Jadi, lagi-lagi, jangan diabaikan efek domino dari setiap kebijakan yang diputuskan.
Ini seperti mengurai rantai implikasi dari kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Terlepas dari pro kontra, kenaikan BBM, seperti halnya PPN, tetap memberikan efek domino yang berujung pada penderitaan rakyat kecil. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar