Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 menetapkan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok yang mulai berlaku pada awal 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk mengendalikan konsumsi rokok sebagai bagian dari upaya peningkatan kesehatan masyarakat.
Namun, kebijakan tersebut memunculkan dilema. Kenaikan harga rokok legal berpotensi mendorong konsumen dengan daya beli rendah untuk beralih ke rokok ilegal. Produk ilegal ini, yang tidak dikenakan cukai, cenderung lebih murah tetapi merugikan negara dari sisi penerimaan pajak.
Dr. (HC) dr. Sudibyo Markus, MBA, Pendiri Muhammadiyah, menekankan pentingnya strategi pengendalian konsumsi rokok yang komprehensif. "Pemerintah harus fokus pada pengurangan permintaan dan pasokan rokok," ujarnya saat konferensi pers bertajuk "Kebijakan HJE Rokok 2025: Dilematisasi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia" via zoom meeting, Jum'at (20/12/2024).
Disisi lain, Kebijakan pengendalian rokok di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan kesehatan masyarakat, tetapi juga dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).
"Kebijakan yang tepat dapat mendukung pencapaian target SDGs, terutama dalam kesehatan masyarakat (Goal 3), pengurangan kesenjangan (Goal 10), dan pembangunan berkelanjutan (Goal 12)," tambahnya. Namun, ketidakseimbangan dalam kebijakan dapat menciptakan paradoks baru yang merugikan.
Dalam konteks internasional, Indonesia telah aktif berpartisipasi dalam berbagai konferensi, termasuk FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) yang disusun antara 2000-2003. Meskipun demikian, prevalensi konsumsi rokok di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Dari 61,4 juta perokok pada 2011, jumlah ini meningkat menjadi 70,2 juta pada 2021. Sementara itu, konsumsi rokok elektronik juga meningkat dari 0,3% menjadi 3%.
Lebih lanjut, Dr. Sudibyo menyoroti bahwa meskipun pemerintah berupaya mengendalikan konsumsi rokok melalui kebijakan cukai, dampak terhadap petani tembakau dan industri kecil harus diperhatikan. "Cukai harus konsisten sebagai instrumen pengendalian, tetapi tidak boleh mengabaikan nasib petani tembakau," tegasnya.
Petani tembakau merupakan mata rantai paling lemah dalam industri ini. Mereka sering kali terjebak dalam monopsoni dan bergantung pada tengkulak untuk menentukan harga. "Kenaikan PPN dan penurunan daya beli masyarakat dapat memperburuk kondisi petani," ungkap Dr. Sudibyo.
Selain itu, kebijakan yang tidak konsisten dapat menyebabkan down trading dan meningkatnya peredaran rokok ilegal.
FCTC mengatur pengurangan permintaan dan pasokan rokok melalui berbagai instrumen, termasuk pajak dan perlindungan dari paparan asap rokok. "Semua ketentuan FCTC tidak bertentangan dengan hukum positif Indonesia," jelas Dr. Sudibyo.
Implementasi yang baik dari FCTC dapat membantu mencapai tujuan SDGs, terutama dalam meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengurangi kesenjangan.
Kebijakan HJE Rokok 2025 diharapkan dapat menjadi langkah maju dalam pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Namun, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya fokus pada aspek mikro, tetapi juga mempertimbangkan dampak pada petani tembakau dan industri kecil.
"Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan Indonesia dapat mencapai target-target SDGs dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat bagi masyarakat," tambahnya.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar