Dalam beberapa tahun terakhir, pembiayaan internasional untuk sektor batu bara terus menurun, seiring dengan tekanan global untuk transisi energi menuju energi terbarukan. Namun, perbankan nasional Indonesia justru masih aktif memberikan kredit ke sektor ini. Data Statistik Perbankan Indonesia dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Agustus 2024 menunjukkan bahwa kredit ke sektor pertambangan mencapai Rp329.133 miliar.
Indonesia telah menyatakan komitmennya terhadap pengurangan emisi karbon melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target Net Zero Emission 2060. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto dalam KTT G20 Brasil berjanji menutup seluruh PLTU batu bara dalam 15 tahun. Namun, komitmen tersebut menghadapi tantangan besar karena pendanaan untuk batu bara tetap tinggi.
Bank Mandiri, misalnya, baru-baru ini merestrukturisasi pinjaman sebesar Rp18 triliun untuk proyek PLTU Sumsel-8, yang justru bertentangan dengan arah transisi energi global. Data menunjukkan, pendanaan batu bara domestik lebih tinggi dibandingkan pembiayaan energi terbarukan, yang seharusnya menjadi prioritas nasional.
CERAH, sebuah organisasi yang mendukung transisi energi, mengadakan diskusi publik bertajuk “Urgensi Perbankan untuk Beralih ke Pembiayaan Hijau Pasca COP29” di Jakarta, Rabu (4/12/2024). Diskusi ini membahas peran strategis perbankan dalam mendorong transisi energi melalui pembiayaan berkelanjutan.
Agung Budiono, Executive Director CERAH, dalam sambutannya, menyatakan bahwa diskusi ini sangat penting mengingat pembiayaan batu bara masih meningkat, meskipun lembaga asing mulai menarik diri.
Sebagai contoh, kata Agung, Bank Mandiri baru saja memberikan pembiayaan sebesar Rp 18 triliun untuk proyek PLTU Sumsel 8, angka yang jauh lebih besar dibandingkan proyek lainnya. Ini menunjukkan bahwa bank-bank BUMN masih melihat potensi keuntungan dari sektor batu bara, meskipun risiko lingkungan semakin meningkat.
"Diskusi ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana perbankan Indonesia dapat berpikir ulang tentang pembiayaan batu bara dan beralih ke investasi yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian, perbankan dapat berkontribusi lebih besar dalam mendukung transisi energi dan mencapai target emisi yang telah ditetapkan," ungkapnya.
Sementara itu, Wicaksono Gitawan, Just Energy Transition Associate CERAH, menegaskan, perbankan harus mulai mempertimbangkan risiko lingkungan dan reputasi dari pembiayaan batu bara. “Pendanaan energi fosil yang terus berlanjut menjadi kontradiktif dengan komitmen iklim Indonesia,” ujarnya.
Menurut Wicaksono, Analisis keuangan CERAH mengungkapkan bahwa:
1. Bank Mandiri adalah pemberi pinjaman terbesar, dengan total pendanaan $3,48 miliar sejak 2016.
2. Adaro dan Dian Swastika menjadi penerima utama pendanaan, masing-masing memperoleh lebih dari $1,9 miliar.
Selain itu, analisis media dari Oktober 2023 hingga Oktober 2024 menunjukkan rendahnya perhatian terhadap pembiayaan hijau di media Indonesia, meski topik ini menjadi fokus global.
Disisi lain, OJK telah meluncurkan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) untuk mendorong bank beralih ke pembiayaan hijau. Namun, implementasinya masih lambat, terutama di sektor energi.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar