Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Pekanbaru kembali menjadi pusat perhatian atas dugaan manipulasi pembayaran honorarium Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diduga kuat merugikan keuangan negara. Masalah ini diangkat oleh berbagai pihak, termasuk Forum Komunikasi Gerakan Muda Pejuang Aspirasi Rakyat (FK-GEMPAR) Provinsi Riau, yang siap melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum (APH).
Ketua DPD FK-GEMPAR Riau, Jujur Sianturi, menjelaskan bahwa pada Maret 2021, BPKAD mencairkan dana honorarium sebesar Rp481.900.000 untuk 51 PNS melalui SP2D Nomor 00020/SP2DOB-BPKAD/IV/2021. Menurutnya, pembayaran tersebut seharusnya hanya diberikan kepada tujuh orang sesuai pagu anggaran dengan batas maksimal Rp7.370.000 per penerima. Namun, kenyataannya, honor yang diberikan berkisar antara Rp6 juta hingga Rp15 juta per bulan.
“Pembayaran honor ini jelas melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 dan peraturan anggaran yang berlaku. Tindakan ini diduga merupakan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merugikan keuangan negara,” tegas Jujur Sianturi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun FK-GEMPAR, tujuh nama penerima honorarium dengan nominal tinggi adalah:
1. Syoffaizal DRS MSI H – Rp15.300.000
2. Harinato – Rp15.200.000
3. Yulianis – Rp12.750.000
4. Sukardi Yasin – Rp14.250.000
5. Riski Emilia Firdaus – Rp14.250.000
6. Ezikra Habibah – Rp14.250.000
7. Weny Fitria – Rp12.350.000
“Jumlah honor ini jauh melebihi standar gaji PNS berdasarkan golongan yang maksimum Rp5.901.200 per bulan, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019,” tambahnya.
FK-GEMPAR berencana melaporkan dugaan ini secara resmi dalam waktu dekat. “Kami akan menyerahkan seluruh data dan informasi kepada APH, baik Kejaksaan Tinggi Riau maupun Ditreskrimsus Polda Riau, untuk dilakukan penyelidikan secara menyeluruh,” ujar Jujur Sianturi.
Manipulasi honorarium ini dianggap mencerminkan lemahnya pengawasan dalam tata kelola keuangan di BPKAD. Jika terbukti, kasus ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa tata kelola keuangan negara membutuhkan transparansi dan akuntabilitas tinggi. Langkah hukum diharapkan dapat membongkar praktik penyalahgunaan wewenang serta mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar