Perkara pidana 758/Pid.B/2021/PN Jkt.Sel yang melibatkan terdakwa Prasetyo Adi Nugroho, Supriyanto, S.E., dan Hikmat Hayat mendapat sorotan tajam dari tim kuasa hukum terdakwa. Mereka menuding Jaksa Muda Yerich Mohda, S.H., M.H., melakukan pelanggaran prinsip keadilan dengan diduga merekayasa fakta hukum dalam dakwaan.
Ade Lutfi Syaefudin, S.H., selaku jubir tim kuasa hukum para terdakwa, menyatakan bahwa jaksa melanggar Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa karena narasi peristiwa hukumnya dikaitkan satu dg yg lain sehingga tampak seolah semua terdakwa berkonspirasi
"Kami menemukan indikasi kuat bahwa fakta hukum dalam perkara ini telah direkayasa. Jaksa tidak hanya gagal menghadirkan bukti yang memadai, tetapi juga mengabaikan fakta yang menunjukkan bahwa klien kami tidak bersalah," kata Priagus Widodo di Jakarta, Senin (02/12/2024).
Dalam dakwaan, terdakwa dituduh melanggar Pasal 378 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 372 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terkait dugaan penipuan. Namun, fakta persidangan justru menunjukkan bahwa klien mereka tidak menerima aliran dana atau keuntungan dari tindakan yang didakwakan.
"Tidak ada bukti bahwa klien kami memiliki niat jahat atau mens rea. Bahkan, dalam perkara ini, klien kami adalah korban yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu," tambah Priagus.
Fakta persidangan mengungkap bahwa pelaku utama, Eki Sairoma Situmeang, telah mengakui dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bahwa ia melakukan penipuan dengan memalsukan surat, cap, dan jabatan PLN. Eki juga meminta Heri, Direktur PT Kerjasama Untuk Negeri, untuk mencari perusahaan lain guna menjalankan proyek kedua untuk pengadaan EV charging dan MCB di PLN. Heri melakukan pembayaran kepada supplier yang ditunjuk oleh Eki, yang akhirnya menyebabkan kerugian bagi korban, PT Dima Investindo.
"Eki telah mengakui semuanya. Dialah yang melakukan pemalsuan dan mengarahkan Heri untuk mencari pihak lain menjalankan proyek. Dengan demikian yang menjadi pelaku utama yang berperan aktif merugikan PT Dima Investindo itu adalah Eki dan Heri, tetapi Klien kami malah yang dikambinghitamkan jadi terdakwa." ujar Priagus
Kasus ini pernah dikabulkan eksepsi terdakwa oleh majelis hakim pada Oktober 2021 yang dalam pertimbangan putusan sela bahwa fakta hukum dakwaan jaksa bersifat imajiner. Terdakwa lain dalam perkara ini, seperti Eki Sairoma Situmeang, Ade Maulana, Wan Muhammad Robby Minaldi, dan Ratudin Ali, dinilai memiliki peran lebih besar dalam perbuatan yang merugikan korban.
"Seharusnya jaksa fokus pada mengusut aliran dana secara menyeluruh serta menghadirkan pelaku utama maupun saksi korban Irman pada persidangan agar perkara terang benderang sehingga klien kami tidak dijadikan kambing hitam," tegas Priagus.
Kuasa hukum juga mengkritik penggunaan kesaksian Caroline, saksi de auditu yang dianggap tidak memiliki legalitas sah sebagai Legal Manager PT. Dima Investindo.
"Kesaksian Caroline dipenuhi ketidakkonsistenan dan tidak seharusnya dijadikan dasar dakwaan. Tetapi, jaksa tetap menggunakannya, yang menunjukkan lemahnya proses hukum dalam perkara ini," jelas Priagus.
Tim kuasa hukum mendesak agar majelis hakim mempertimbangkan semua fakta yang telah diungkap dalam persidangan dan menerima pledoi maupun duplik kliennya.
"Kami hanya berharap keadilan ditegakkan. Klien kami tidak pantas menjadi korban dari sistem hukum pidana yang penuh penyimpangan seperti ini. Dan ini bertentangan dengan keputusan perdata yang inkrach bahwa klien kami tidak terbukti PMH (Perbuatan Melawan Hukum)," ujar Priagus Widodo.
"Fakta-fakta ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan penting dalam proses hukum yang sedang berjalan, sehingga keadilan dapat diberikan kepada semua pihak yang terlibat. Kami hanya berharap kepada Majelis Hakim sebagai wakil Tuhan memberikan putusan dengan membebaskan klien kami" pungkas Priagus Widodo. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar