Di tengah heboh dan viralnya kasus Ronald Tannur serta penangkapan Zarof Ricar senilai 1 triliun, disusul penangkapan oknum panitera pengganti di Pengadilan Tinggi Banten, perbincangan dan spekulasi publik mengenai praktik mafia peradilan semakin marak. Syamsul Bahri, Ketua Pokja FORSIMEMA-RI, mengungkapkan kekecewaan masyarakat terhadap oknum pejabat pengadilan dan Mahkamah Agung (MA). "Kami menghargai dan mengapresiasi kekecewaan publik yang disebabkan oleh oknum-oknum tersebut," ujarnya.
Dalam obrolan via telepon dengan H. Suharto, SH, MHum, Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, pada Sabtu, 2 November 2024, Syamsul menyampaikan bahwa dugaan praktik mafia peradilan seringkali menimbulkan konotasi keliru. "Ada anggapan bahwa ada organisasi terstruktur yang mengatur semuanya," jelasnya. Suharto menambahkan bahwa praktik jual beli perkara memang bisa terjadi, tetapi kebanyakan berlangsung di luar lingkungan MA dan di luar jam kerja.
Fenomena penipuan oleh oknum yang mengatasnamakan pegawai MA demi keuntungan pribadi juga menjadi perhatian. "Oknum tersebut sering memperdaya masyarakat dengan meyakinkan bahwa memenangkan perkara memerlukan biaya besar," ungkap Suharto. Ia menegaskan bahwa putusan peradilan dilakukan sesuai mekanisme hukum yang berlaku, tanpa adanya jual beli putusan.
Mahkamah Agung RI kini menerapkan sistem "One Day Publish" untuk menanggulangi potensi praktik jual beli informasi. Dengan sistem ini, hasil putusan akan diunggah pada hari yang sama, menutup peluang bagi oknum yang ingin memanfaatkan informasi sebelum diumumkan resmi. "Jika ada sidang pada tanggal 5, hasilnya akan diunggah pada hari itu juga," jelas Suharto.
Lebih lanjut, Suharto juga mengingatkan masyarakat pencari keadilan untuk memanfaatkan aplikasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat diunduh di PlayStore. Melalui aplikasi tersebut, masyarakat dapat memantau status perkara, termasuk informasi terkait pidana umum, pidana khusus, pidana militer, perdata, dan TUN.
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar