Usai pelantikan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pada akhir Oktober 2024, publik dikejutkan oleh penangkapan oknum ZR, eksekutif produser film "Sang Pengadil," dan mantan Kabadiklat M. A. Penangkapan ini diikuti oleh penangkapan panitera pengganti Pengadilan Tinggi Banten, yang semakin mencederai marwah institusi peradilan di Indonesia.
Prof. Dr. Sunarto SH MH, Ketua Mahkamah Agung, mengapresiasi tindakan Kejaksaan RI dalam memberantas korupsi, yang sejalan dengan visi misi Pemerintahan Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran. Namun, penangkapan oknum di institusi peradilan menimbulkan tanda tanya di kalangan akademisi, intelektual, dan pakar hukum. Apakah supremasi hukum di Indonesia sudah layak dipertanyakan?
Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2004, tugas dan wewenang Kejaksaan seharusnya sinergis dengan Mahkamah Agung. Namun, pertanyaan muncul: Apakah kedua lembaga hukum ini saling melumpuhkan? Publik dan masyarakat pencari keadilan khawatir jika institusi hukum tidak lagi menjaga kewibawaannya.
Penegakan hukum di Indonesia saat ini gencar memberantas pungli, korupsi, TPPU, dan gratifikasi yang menyengsarakan rakyat. Masyarakat pencari keadilan mendukung visi dan misi institusi hukum untuk menegakkan keadilan tanpa tebang pilih. Siapa pun yang melanggar hukum harus dihadapkan pada konsekuensi sesuai ketentuan yang berlaku.
Prof. Erman Rajagukguk menyatakan, "Hukum itu tidak tegak selalu, sekali tegak, sekali runtuh." Tugas kita adalah menegakkan hukum ketika runtuh dan menjaga integritas institusi.
"Pentingnya menjaga keharmonisan antara lembaga hukum dan tidak membiarkan oknum pelanggar hukum merusak visi misi bersama," kata Syamsul Bahri, Ketua Forsimema-ri, dalam keterangan persnya, Kamis (31/10/2024).
"Kita harus tetap bersatu, sinergi, dan solid dalam menjalankan tugas negara untuk melaksanakan supremasi hukum demi menjaga integritas dan marwah institusi peradilan di Indonesia," pungkasnya.
Editor: Arianto