Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Sejak 1 Maret 2024, pasien dengan kanker payudara stadium dini untuk jenis tertentu seharusnya sudah bisa mengakses trastuzumab melalui program JKN. Namun, hingga hari ini, harapan kesembuhan masih sebatas harapan. Kasus ini menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Seminar HIFDI dengan tema“Akses Pengobatan Kanker di JKN: Menciptakan Birokrasi yang Berpihak pada Pemenuhan Hak Pasien.”
Himpunan Fasyankes Dokter Indonesia (HIFDI) hari ini, Sabtu (16/08/2024) menyelenggarakan FGD yang menghadirkan narasumber dari Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), dan organisasi pasien Cancer Information and Support Center (CISC).
Tujuannya adalah mendiskusikan permasalahan akses pengobatan kanker serta mengeksplorasi solusi-solusi yang efektif dalam meningkatkan akses serta kualitas penatalaksanaan kanker di Indonesia, khususnya dalam program JKN.
Acara ini dibuka dengan sambutan dari Ketua HIFDI, Dr. Zaenal Abidin, SH, MH, yang menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak untuk memperbaiki akses dan kualitas pengobatan kanker. Diskusi kemudian dimoderatori oleh Dr. Putro S. Muhammad, CEFHLM, Sekretaris Jenderal HIFDI, yang memimpin sesi tanya jawab dan memastikan jalannya diskusi tetap fokus dan produktif.
Kanker adalah penyakit katastropik yang sangat membutuhkan campur tangan Pemerintah, mengingat tidak hanya mengancam nyawa pasien, tetapi juga menimbulkan permasalahan sosial ekonomi, terutama akibat beban pembiayaan pengobatannya. Oleh sebab itu, sejak JKN menjamin pelayanan kanker, telah banyak manfaat yang didapat pasien. Sayangnya, masih ada beberapa kebijakan dan implementasinya yang belum optimal sehingga pelayanan yang seharusnya bisa diberikan kepada pasien masih terhambat.
Pada kesempatan yang sama, Aryanthi Baramuli Putri, pendiri dan ketua Cancer Information and Support Center (CISC), menjelaskan, Kami sangat mengapresiasi Pemerintah yang terus berupaya meningkatkan akses pengobatan kanker. Kasus kanker terbanyak adalah kanker payudara, dan kami sangat berharap agar Pemerintah segera memberikan solusi seperti trastuzumab.
Saat peraturan Menteri Kesehatan dikeluarkan yang menyatakan trastuzumab dijamin untuk kanker payudara stadium dini, pasien sangat menaruh harapan besar untuk bisa mendapatkan obat yang sangatdibutuhkan. Sayangnya, hingga saat ini hak mereka belum bisa diwujudkan; obat masih belum bisa diakses.
Menurut laporan Global Burden of Cancer Study (Globocan) dari World Health Organization (WHO), terdapat 408.661 kasus kanker di Indonesia pada 2022. Kanker payudara merupakan kanker yang paling banyak ditemukan di Indonesia dan menjadi penyebab kematian kanker tertinggi, yakni 9,3%.
Trastuzumab adalah pengobatan standar sejak lebih dari satu dekade lalu untuk kanker payudara jenis HER2+ yang terjadi pada satu dari lima pasien kanker payudara. Meskipun jenis kanker ini tumbuh lebih cepat dan banyak menyerang pasien berusia muda, apabila diobati sejak stadium dini dengan baik, harapan kesembuhannya tinggi.
Oleh sebab itulah, ketika diputuskan bahwa Pemerintah akhirnya menjamin trastuzumab untuk kanker payudara stadium dini, pasien kanker menaruh harapan kesembuhan yang sangat besar. Sayangnya, kendala birokrasi mengaburkan harapan pasien.
Sementara itu, Ketua POI, Dr. dr. Cosphiadi Irawan, SpPD-KHOM, sangat menyayangkan bahwa hingga saat ini trastuzumab masih belum bisa diakses oleh pasien.
“Penatalaksanaan kanker membutuhkan kerja sama multidisiplin dan harus dilakukan secara komprehensif. WHO melalui Global Breast Cancer Initiative menargetkan 60% pasien kanker payudara terdiagnosis sejak stadium
dini, diagnosis ditegakkan maksimal 60 hari, dan setidaknya 80% pasien mendapatkan akses terhadap pengobatan yang sesuai standar medis,” jelas Dr. Cosphiadi.
Dr. Dyah Agustina Waluyo melanjutkan, “Penting untuk diingat bahwa akses terhadap obat-obatan yang dapat menyelamatkan nyawa seperti trastuzumab bukanlah sebuah kemewahan, melainkan hak yang harus diterima oleh setiap pasien.”
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti MSc., PhD, mengapresiasi kegiatan yang diadakan oleh HIFDI, yang memberikan wawasan langsung mengenai masalah di lapangan yang dihadapi dokter dan tenaga medis kanker. Ia menyatakan bahwa BPJS sangat berkomitmen untuk mendengarkan dan mencari solusi, meskipun tantangan utamanya terkait kebijakan dan bukti ilmiah.
Dalam pertemuan tersebut, ia menyampaikan hasil dari meta- analisis koheren dan menerima saran dari Dr. Djumhana untuk mengadakan pertemuan lanjutan guna mencari solusi. BPJS menunjukkan kepedulian mendalam terhadap kesehatan masyarakat Indonesia, menekankan pentingnya gotong-royong dalam menjaga kesehatan dan kesadaran bahwa kesehatan memerlukan biaya.
Dr. Djumhana mengungkapkan harapannya agar obat-obat terbaik dari Amerika atau Eropa segera tersedia di Indonesia untuk mencegah pasien mencari pengobatan di Singapore.
Ia menjelaskan pentingnya memasukkan obat-obat tersebut ke dalam sistem jaminan kesehatan nasional agar menjadi cost-effective dan tercantum dalam e-catalog BPJS Kesehatan. Proses ini melibatkan perhitungan cost-effectiveness yang harus berada di bawah ambang batas yang ditentukan oleh Formularium Nasional (Fornas) Kemenkes.
Dr. Djumhana mengajak untuk melakukan studi dampak anggaran di Indonesia guna memastikan harga obat dapat ditekan dan memenuhi standar cost-effectiveness. Ia menegaskan bahwa obat untuk kanker payudara stadium awal hanya akan diterima jika diberikan dengan benar dan didasarkan pada penilaian multidisiplin, termasuk oleh radiolog yang melakukan CT Scan dan pemeriksaan lainnya untuk menentukan stadium penyakit.
Dr. Anton dari Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) mengungkapkan kekhawatirannya terkait penanganan kanker payudara stadium awal dengan HER2 (+), khususnya mengenai obat trastuzumab. Meskipun trastuzumab sudah dicakup dalam Formularium Nasional (Fornas) 2023, BPJS hingga saat ini belum memberikan akses obat tersebut.
Dr. Anton mempertanyakan alasan di balik keputusan ini, mengingat bahwa secara legal formal Fornas 2023 menyetujui penggunaan trastuzumab untuk kanker payudara stadium awal hingga 18 kali. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun pedoman internasional yang tidak mengadopsi trastuzumab untuk pengobatan kanker payudara HER2 (+), sehingga argumentasi bahwa ada penelitian yang meragukan efektivitas obat tersebut tidak dapat diterima.
Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV, menyampaikan bahwa tingginya angka kematian akibat kanker di Indonesia, dengan tingkat kelangsungan hidup hanya 30% dan angka kematian mencapai 70%, menyoroti kebutuhan mendesak untuk meningkatkan diagnosis dini dan aksesibilitas layanan kesehatan. Setiap tahunnya, Indonesia menghadapi sekitar 400.000 kasus kanker baru, yang semakin diperparah oleh faktor-faktor seperti paparan karsinogenik, gaya hidup tidak sehat, faktor genetik, dan dampak keterlambatan pengobatan selama pandemi COVID-19.
Dengan perkiraan bahwa jumlah penderita kanker akan terus meningkat seiring bertambahnya usia harapan hidup yang kini mencapai lebih dari 70 tahun, diperlukan pendekatan tim medis yang komprehensif, teknologi yang lebih canggih, dan pemerataan layanan kesehatan di seluruh wilayah, termasuk di pedesaan, untuk mencegah "ledakan" kasus kanker di masa depan. Di tengah upaya Pemerintah untuk terus meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan JKN, masih banyak area untuk perbaikan.
Pelayanan publik yang terpusat pada pemenuhan hak pasien serta kolaborasi antara para pemangku kepentingan akan mempercepat upaya memberikan pelayanan kanker paripurna dengan pendekatan multidisiplin, sesuai dengan standar penatalaksanaan agar hasilnya pun optimal baik bagi pasien, dokter, maupun investasi kesehatan. Menuntaskan masalah trastuzumab agar bisa diakses pasien kanker payudara stadium dini adalah salah satunya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar