Dalam rangka memperingati Hari Anti Narkotika Internasional HANI 2024 yang jatuh pada tanggal 26 Juni setiap tahunnya, 30 organisasi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Rehabilitasi yang terdiri organisasi masyarakat sipil, organisasi korban narkotika dan organisasi profesi serta bantuan hukum secara kolektif menyampaikan Surat Bersama kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (KAPOLRI), Bapak Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo di Markas Besar POLRI, Jalan Trunojoyo 1, Jakarta.
Surat Bersama tersebut isinya tentang keprihatinan Aliansi Masyarakat Peduli Rehabilitasi terhadap implementasi dari Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) spesifik pada pecandu dan penyalahguna NAPZA sesuai dengan mandat dari Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 8 tahun 2021 yang cenderung masih belum ideal prakteknya dan juga masih banyak merugikan korban narkotika dalam mendapatkan rehabilitasi baik medis maupun rehabilitasi sosial seperti yang diatur didalam Undang – undang Narkotika nomor 35 tahun 2009.
Koordinator dari kegiatan ini, Checep Supriady yang juga menjabat sebagai Koordinator Nasional Persaudaraan Korban Napza Indonesia – PKNI yang mewakili suara dari korban narkotika menyampaikan beberapa hal penting yang mereka sampaikan di surat untuk KAPOLRI tersebut antara lain;
1. Rujukan ke lembaga rehabilitasi yang dilakukan oleh pihak penyidik kerap dilakukan dengan merujuk ke lembaga rehabilitasi swasta berbayar dengan biaya yang sangat mahal dengan justifikasi bahwa hanya lembaga tersebutlah yang memiliki perjanjian kerjasama dengan pihak Kepolisian Republik Indonesia.
2. Penunjukan lembaga rehabilitasi yang dilakukan oleh institusi POLRI masih dirasakan inkonstitusi dengan Undang – undang 35 tahun 2009 dan juga Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
3. Tidak dilakukannya asesmen oleh tim asesmen terpadu (TAT) sesuai kriteria dan persyaratan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif sesuai dengan Perpol Nomor 8 tahun 2021 yang secara spesifik tertulis di Pasal 9 ayat (1) huruf d. Hasil rekomendasi dari tim TAT tidak secara transparan diinformasikan kepada pihak keluarga Pecandu dan Penyalahguna NAPZA.
4. Belum adanya Petunjuk Teknis atau Petunjuk Pelaksanaan yang jelas sehingga bisa menimbulkan misintepretasi dalam implementasi Perpol nomor 8 tahun 2021 tersebut.
5. Pihak keluarga tersangka tidak mendapatkan informasi yang transparan dan jelas mengenai semua opsi – opsi lembaga rehabilitasi yang tersedia, lebih terjangkau bahkan bisa gratis dengankualitas layanan yang terstandarisasi ketika pihak keluarga mengajukan haknya agar tersangka dapat dilakukan rehabilitasi.
6. Penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia mulai bergeser arahnya dari upaya mengurangi demand reduction yang harusnya berfokus pada para pengedar berskala besar, dalam prakteknya semakin sering kami mendapatkan laporan mengenai tindakan penegakan hukum dengan menargetkan pecandu, penyalahguna NAPZA yang notabene adalah merupakan korban dari peredaran gelap NAPZA tersebut.
Dan pada kesempatan tersebut, Reynhard Siagian yang juga merupakan Direktur dari Yayasan Jabesz, sebuah lembaga yang menyediakan layanan rehabilitasi kepada korban penyalahgunaan narkotika, juga menyampaikan beberapa poin rekomendasi kepada KAPOLRI. Poin – poin yang disampaikan adalah berdasarkan Undang-undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa fungsi Kepolisian harus memperhatikan semangat pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), hukum dan keadilan maka mereka meminta kepada Bapak Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo selaku Kepala Kepolisian RI untuk:
1. Meningkatkan kualitas pengawasan Internal, khususnya dalam implementasi dari penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif pada kasus kasus NAPZA.
2. Melibatkan lembaga – lembaga layanan rehabilitasi yang lebih terjangkau dengan standarisasi nasional.
Termasuk layanan rehabilitasi milik negara seperti Kementrian Kesehatan dan Kementrian Sosial sebagai lembaga yang menerima rujukan keadilan restoratif bagi pecandu dan penyalahguna NAPZA dari kepolisian.
3. Melakukan peninjauan kembali terkait kerjasama dengan lembaga – lembaga rehabilitasi swasta berbayar dan memasukkan lembaga – lembaga rehabilitasi yang lebih terjangkau sebagai pilihan solusi demi meningkatkan kualitas dan kuantitas program rehabilitasi sesuai dengan Program Percepatan Rehabilitasi POLRI yang sedang berjalan di 10 provinsi saat ini.
4. Pelibatan organisasi masyarakat sipil berbasiskan korban dari peredaran gelap NAPZA secara lebih bermakna untuk dapat memberikan kontribusi positif dan membangun dalam upaya mendukung program Pemerintah dalam pemberantasan narkoba di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar