Kondisi kesehatan dunia setelah pandemi COVID-19 mengalami banyak perubahan. Berita terkait adanya kejadian luar biasa penyakit dan munculnya penyakit baru yang belum diketahui penyebabnya kian marak bermunculan. Perubahan iklim, perubahan gaya hidup, pemanasan global, dan banyak faktor lain mempengaruhi munculnya berbagai penyakit baru, atau penyakit yang sebenarnya ada namun sebelumnya tidak banyak diketahui masyarakat.
Salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh kalangan medis maupun awam ialah penyakit jamur paru. Secara umum angka kejadian penyakit jamur meningkat pesat hampir mendekati dua kali lipat dalam kurun waktu 11 tahun terakhir. Anga kematian penyakit jamur melonjak dari 2 juta menjadi 3,8 juta kematian per tahun
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi merebaknya penyakit jamur ini. Salah satu tindakan nyata dari Pusat Mikosis Paru Indonesia ialah dengan menerbitkan buku pedoman nasional hasil kolaborasi lintas bidang perhimpunan profesi kedokteran. Buku panduan ini merupakan sebuah panduan diagnosis dan tata laksana penyakit jamur invasif yang diresmikan pada Desember 2023 lalu
(https://mikologi.or.id/pedoman-nasional-organisasi-profesi-mikosis-invasif/).
Indonesia sebagai negara kedua trendi dengan beban tuberkulosis (TB) paru memiliki risiko yang besar terkena penyakit jamur paru, salah satunya yaitu aspergilosis paru kronik (APK). Teknologi diagnosis penyakit jamur paru telah meningkat dalam 15 tahun terakhir namun terdapat kesenjangan fasilitas antara negara berkembang dan negara maju. Metode yang paling sederhana dalam diagnosis APK ialah dengan kultur jamur. Namun metode ini hanya mendeteksi sekitar sepertiga dari pasien yang menderita penyakit jamur.
Selama sekitar tujuh tahun terakhir berkembang riset mengenai APK di Indonesia menggunakan metode deteksi antibodi jamur, yang memiliki performa diagnosis lebih baik dibanding kultur jamur. Beberapa laporan riset terkait tema ini telah terpublikasi di jurnal internasional bereputasi yang menunjukkan angka kejadian APK yang tinggi di antara pasien TB
Populasi yang menunjukkan proporsi paling besar (22%) ialah pasien dengan gejala pernapasan menetap setelah selesai pengobatan TB namun memiliki hasil tes cepat molekuler TB negatif. Dengan kata lain, paling tidak satu diantara lima pasien dengan karakteristik di atas berisiko terkena APK.
Angka kejadian APK yang ada saat ini berasal dari pasien di daerah Jakarta dan sekitarnya. Oleh karena itu, pada tahun 2023 tim peneliti lintas universitas (UI, ITB dan University of Manchester) yang dipimpin oleh Dr. dr. Anna Rozaliyani M. Biomed, Sp.P(K) melakukan studi bertema “Improving the diagnosis and managements of chronic fungal lung diseases complicating tuberculosis in multiple areas in Indonesia” atau disingkat I-CHROME. Tim riset beranggotakan Dr. dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P(K), MPd, Ked, dr. Findra Setianingrum, M.Sc, Ph.D, Husna Nugrahapraja, S.Si, M.Si, Ph.D, Prof David Denning, Ph.D, Dr. Chris Kosmidis, PhD.
Sumber pendanaan riset berasal dari Program Riset Inovatif Produktif UK-Indonesia Consortium for Interdisciplinary Sciences (RISPRO UKICIS), sebuah hibah yang dikelola loleh Ditjen Dikti dan LPDP.
Riset ini merupakan pengembangan dari riset sebelumnya terkait APK yang meluaskan jangkauan dan jejaring ke delapan provinsi dan 15 rumah sakit di seluruh Indonesia.
Selain akses diagnosis yang gratis, pasien juga mendapatkan pengobatan obat antijamur selama enam bulan bagi pasien yang diagnosis APK ditegakkan melalui bukti klinis, laboratoris dan radiologis yang ditelaah secara mendalam oleh tim peneliti.
Hingga saat ini, terdapat sekitar 200 pasien yang telah berpartisipasi dalam riset ini. Riset I-CHROME merupakan salah satu bentuk nyata kontribusi Pusat Mikosis Paru Indonesia dalam mengadvokasi akses pengobatan penyakit jamur bagi masyarakat Indonesia. Dr. Anna, yang merupakan ketua Pusat Mikosis Paru Indonesia, berharap riset I-CHROME dapat memperkuat kolaborasi lintas universitas, lintas bidang dan lintas wilayah sehingga dapat berdampak pada meningkatnya angka kesembuhan pasien APK.
Dalam artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional sebelumnya dijelaskan bahwa
pemeriksaan Immunoglobulin (Ig) G sebagai petanda diagnosis utama APK pada pasien
Indonesia memiliki cut-off yang berbeda dengan cut-off pada populasi Eropa dan Afrika (11.5
mg/L vs 20mg/L menggunakan Immulite).
Hal ini mengindikasikan perlunya studi lanjutan terkait
validasi uji IgG untuk pasien APK di Indonesia guna membantu diagnosis akurat penyakit ini.
Upaya pengobatan pasien tuberkulosis tidak berhenti sampai pasien selesai pengobatan TB
namun penyakit lanjutan atau komplikasi TB seperti APK harus mendapat perhatian yang serius
guna mencegah kerusakan jaringan paru yang lebih luas. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar