Memasuki tahun keempat kepemimpinannya, Gus Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas telah mencatatkan banyak capaian (prestasi). Sekian banyak penghargaan dan apresiasi diperoleh dari Kementerian/Lembaga hingga tahun 2024.
"Semua prestasi Kementerian Agama belakangan ini bukan karena Menteri Agama-nya, tetapi karena bapak dan ibu semua", tegas Gus Men merendah di hadapan sekitar 4.000 ASN Kemenag seluruh Indonesia dalam Meet and Brief di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta (4/1/2024).
Sebagai orang yang pernah menjadi Sekretaris Menteri Agama, setidaknya saya mencatat beberapa prinsip kepemimpinan beliau hingga membawa "kapal" Kementerian Agama se-keren saat ini. Prinsip-prinsip kepemimpinan Gus Men setidaknya dapat dibaca dari empat bentuk kalimat pernyataan yang sering disampaikan dalam berbagai forum resmi maupun tidak resmi, diantaranya:
(1) Saya lebih memilih menjadi pemimpin yang ditakuti daripada pemimpin yang dicintai;
(2) manajemen kepemimpinan saya mengikuti filosofi kereta api: berangkat dan sampai tujuan tepat waktu, berjalan di atas rel, seluruh gerbong mengikuti lokomotif, siapa yang menghalangi ditabrak;
(3) dalam menjalankan tugas, melakukan hal salah itu wajar karena kita manusia, tapi jangan sekali-kali berbohong;
(4) jangan pernah takut menjadi tua karena semua orang akan menjalani fase ini, tapi takutlah menjadi orang yang berpikiran tua.
Ungkapan-ungkapan tersebut, bagi saya, merupakan prinsip-prinsip kepemimpinan birokrasi yang sangat bagus dari seorang Gus Men karena sarat akan filosofi yang sangat penting, dan dapat dijadikan model kepemimpinan.
Agar seluruh pernyataaan tersebut mudah dipahami, saya mencoba memaknainya dengan "verbatim analysis", yaitu analisa berdasarkan pernyataan (verbatim) dari Gus Men untuk memperoleh pemahaman lebih mendalam tentang perspektif kepemimpinan birokrasi di Kementerian Agama.
Pertama, ungkapan: "Saya lebih memilih menjadi pemimpin yang ditakuti daripada pemimpin yang dicintai".
Dari pernyataan tersebut, lalu Gus Men mencoba membangun argumen bahwa pemimpin yang ditakuti akan membentuk ketaatan (dari anak buah), sementara pemimpin yang dicintai berpeluang munculnya pengkhianatan. Artinya, dalam kepemimpinan birokrasi harus dipastikan adanya loyalitas (loyalty) mutlak dari anak buah agar dapat mencapai target kinerja yang diharapkan.
Tentu loyalitas dalam arti yang positif. Saat sebuah Kementerian/Lembaga diberikan mandat oleh presiden untuk mencapai target A, B, dan C, maka seluruh gerbong kepemimpinannya harus dalam satu komando utama. Tidak boleh ada yang berjalan sendiri, apalagi melobangi kapal yang sedang berlayar menuju sebuah pulau.
Seluruh kebijakan/program yang direncanakan dan dilaksanakan dari atas sampai bawah harus senafas, seiring, dan seirama hingga dapat mencapai target bersama.
Model pemimpin ala Gus Men tersebut jika dihubungkan dengan teori kepemimpinan memiliki ciri-ciri gaya kepemimpinan otoritatif, di mana pemimpin hanya memberikan tujuan akhir yang ingin dicapai.
Namun demikian, ia tetap memberi bawahan kebebasan untuk berinisiatif dan memberikan ide-ide baru, memiliki visi yang jelas dan keberanian untuk bertindak, memiliki pesona dan kepercayaan diri yang tinggi, dan pandai memotivasi bawahan.
Dalam catatan saya, selama kepemimpinan Gus Men yang memberi target tinggi kepada seluruh Satker di Kemenag, over all, telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan sungguh-sungguh. Meski kadang dalam dinamika yang tinggi, namun upaya seluruh jajarannya betul-betul dilaksanakan dengan optimal.
Memang ada semacam "rasa takut" gagal dalam mencapai target dengan "bayang-bayang" punishment, namun masih dalam batas-batas wajar. Hal yang menjadi "underline" dari model kepemimpinan ini adalah munculnya "spirit" seluruh pegawai untuk berbuat terbaik demi mencapai target kinerja yang telah ditetapkan GusMen.
Kedua, pernyataan: "Manajemen kepemimpinan saya mengikuti filosofi kereta api: berangkat dan sampai tujuan tepat waktu, berjalan di atas relnya, seluruh gerbong mengikuti lokomotif, siapa yang menghalangi ditabrak".
Nilai dari model kepemimpinan Gus Men ini menggambarkan tentang keinginan yang kuat agar seluruh jajaran Kemenag memiliki perilaku disiplin yang dikaitkan dengan filosofi kereta yang berangkat dan sampai tujuan tepat waktu.
Disiplin dapat dimaknai dalam banyak hal. Untuk konteks birokrasi, aparatur negara harus memiliki perilaku disiplin dalam bekerja, datang tepat waktu, memenuhi target kinerja yang telah ditetapkan, disiplin dalam penggunaan anggaran agar memberi manfaat kepada masyarakat, disiplin dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, disiplin dalam membuat laporan keuangan, dan lain-lain. Disiplin harus pula dijadikan budaya dalam bekerja, bukan hanya sekedar jargon.
Kalimat "kereta berjalan di atas relnya" menuntut aparatur negara untuk bekerja sesuai regulasi atau ketentuan yang ada. Dalam konteks Kementerian Agama sebagai pelayan umat, seluruh pegawai harus berpedoman kepada konstitusi, undang-undang, dan ketentuan yang ada.
Jangan ada diskriminasi pelayanan kepada seluruh umat, sehingga muncul kecemburuan dari kelompok minoritas yang dapat menganggu kerukunan dan harmoni masyarakat yang beragam. Ketaatan kepada regulasi berlaku juga pada pengambilan kebijakan, pelaksanaan program, termasuk dalam pengelolaan anggaran agar tidak terjadi "fraud" (penyelewengan dan kebocoran).
Untuk kalimat: "seluruh gerbong mengikuti lokomotif" dapat diartikan sebagai kepemimpinan satu komando. Seorang menteri harus menjadi episentrum kebijakan yang harus diikuti oleh seluruh jajaran sehingga tidak ada "anak buah" yang "mbalelo" dengan berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang dapat merugikan institusi.
Saat GusMen melarang seluruh jajarannya tidak melakukan hate speech dan menyebarkan hoaks di Media Sosial harus benar-benar ditaati. Sebagai aparatur negara harus mengayomi masyarakat. Karena itu, lokomotif yang menggerakkan seluruh gerbong harus satu barisan di bawah kendali lokomotif.
Sedangkan kalimat: "bagi yang menghalangi akan ditabrak", diartikan pentingnya loyalitas kepada pimpinan dan upaya penegakan disiplin bagi yang melawan arus kepemimpinan. Dalam mekanisme birokrasi, reward and punishment sebagai hal yang patut ditegakkan.
Bagi yang berprestasi perlu diberi penghargaan, sementara bagi yang melanggar aturan (indisipliner) patut dihukum sesuai ketentuan. Artinya, loyalitas, komitmen, dan tegak lurus dengan kebijakan pimpinan tertinggi menjadi hal yang mutlak.
Ketiga, ungkapan: "Sebagai aparatur negara melakukan hal salah itu wajar karena kita manusia, tapi jangan sekali-kali berbohong". Prinsip kepemimpinan Gus Men nampak sekali ingin menjunjung tinggi kejujuran (honesty). Sebagai manusia, salah dan lupa adalah wajar karena memang Tuhan menghendaki dalam satu paket penciptaannya.
Namun, manusia tidak boleh berbohong karena dikaruniai akal dan pikiran. Dengan akal, manusia bisa membedakan mana yang benar atau salah. Dengan hati bisa merasakan mana yang baik atau buruk.
Jujur adalah sikap lurus hati. Orang yang jujur pasti akan mengatakan hal yang benar dan tidak pernah berbohong. Hal-hal yang disampaikan tidak menyalahi fakta yang seharusnya.
Sikap jujur tercermin dari kesesuaian antara niat dengan ucapan. Niat dan ucapan juga akan sejalan dengan perbuatannya. Keseiringan antara niat, sikap, dan perilaku merupakan ciri utama orang beriman sebagai aspek moral kehidupan yang memiliki nilai baik dan mulia.
Sikap jujur adalah mahkota individu beriman. Tanpanya, manusia akan kehilangan kehormatan substansial. Kejujuran akan melahirkan kepercayaan antara satu orang dan lainnya. Sikap jujur juga menjauhkan rasa curiga hingga kekhawatiran akan rusaknya sebuah kepercayaan yang dibangun. Oleh sebab itu, setiap aparatur Kemenag wajib memiliki sikap jujur saat bekerja. Apalagi wilayah tugasnya terkait dengan pelayanan terhadap umat beragama.
Keempat, ungkapan: "Jangan pernah takut menjadi tua karena semua orang akan mengalami fase ini, tapi takutlah menjadi orang yang berpikiran tua". Pernyataan Gus Men ini saya dengar langsung saat beliau merayakan Ulang Tahun ke-49 di kantor Jl. Lapangan Banteng.
Namun dari spirit kepemimpinannya sebenarnya Gus Men ingin mengajak kepada seluruh aparatur Kemenag agar melayani umat lebih gesit, mudah, dan cepat dengan semangat anak-anak muda (gen millenial dan Z).
Menurutnya, usia Kementerian Agama boleh memasuki ke-78 tahun, namun tampilan kinerjanya jangan seperti usianya. Artinya, Kemenag harus memperlihatkan kepada khalayak sebagai institusi yang adaptif, trendy, dan melek terhadap
perubahan-perubahan. Saat era sudah berubah sedemikian rupa dengan kecanggihan teknologi digital dan fenomena artificial intelligence (AI), maka seluruh layanan dan sistem kerja Kemenag harus menyesuaikan.
Dari uraian tentang prinsip kepemimpinan Gus Men di atas nampak sekali beliau adalah sosok pemimpin muda yang energik, memiliki visi besar tentang nilai-nilai kemajuan, kebermanfaatan, egaliterianistik, idealistik, dan pelayanan terbaik kepada umat. Akhirnya kita semua tahu, siapa sesungguhnya Gus Men itu. Lalu, apakah Kemenag tidak boleh sekeren sekarang? Wallhu a'lam bish-shawab. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar