ECPAT Indonesia, perwakilan resmi organisasi ECPAT Internasional yang bekerja untuk menentang eksploitasi seksual anak, menggelar peluncuran catatan akhir tahun 2023 mengangkat tema “Keberlanjutan Dalam Menghapus Eksploitasi Seksual Anak di Indonesia” via zoom meeting, Jumat (29/12/2023).
Acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, media, akademisi, dan anak-anak yang terlibat dalam program-program ECPAT Indonesia. Dalam catatan akhir tahun 2023, ECPAT Indonesia menyampaikan berbagai capaian, tantangan, dan rekomendasi terkait dengan isu-isu eksploitasi seksual anak di Indonesia, khususnya di ranah daring.
ECPAT Indonesia merupakan bagian dari jaringan global ECPAT Internasional yang beranggotakan lebih dari 100 organisasi di 95 negara. ECPAT Indonesia berdiri sejak tahun 2003 dan berjejaring dengan 18 organisasi dan lima individu di 11 provinsi di Indonesia. ECPAT Indonesia memiliki visi untuk menciptakan dunia yang bebas dari eksploitasi seksual anak.
Salah satu isu yang menjadi fokus ECPAT Indonesia adalah eksploitasi seksual anak melalui internet atau online child sexual exploitation (OCSE). Menurut Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian, OCSE merupakan bentuk kejahatan yang semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
“Teknologi digunakan untuk melakukan share terhadap berbagai aktivitas seksual yang sebetulnya sangat confidential, tapi ditampilkan di publik,” ujar Ahmad Sofian dalam sambutannya.
Ahmad Sofian menambahkan, berdasarkan data Internet Watch Foundation (IWF) pada 2022, terdapat 255.571 konten kekerasan dan pelecehan seksual anak di ranah daring yang ada di seluruh dunia. Angka ini meningkat 20 persen pada 2023.
“Konten yang dilaporkan tersebut berasal dari situs-situs yang menampilkan gambar dan video pelecehan seksual anak,” kata dia.
Ahmad Sofian juga menyebutkan, bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat prevalensi OCSE yang tinggi. ECPAT Indonesia mencatat, ada sekitar 2 persen anak-anak pengguna internet di Indonesia yang telah menjadi sasaran eksploitasi seksual dan pelecehan secara daring.
“Dari hasil asesmen dan survei yang dilakukan dari tahun 2020 sampai 2022 dan di 2023 juga menemukan adanya peningkatan kasus-kasus eksploitasi seksual anak di ranah daring. Jadi bukan hanya di global tingkatannya. Eksploitasi seksual anak ini meningkat, ternyata di dalam negeri pun eksploitasi seksual anak di ranah daring juga mengalami peningkatan,” ungkap Rio Hendra, Manajer Program ECPAT Indonesia.
Rio Hendra menjelaskan, salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya deteksi dan penindakan OCSE di Indonesia adalah kurangnya kesadaran dan pelaporan dari korban dan saksi. Menurut dia, sebanyak 56 persen anak tidak pernah menceritakan insiden yang dialaminya kepada siapapun.
“Rendahnya pelaporan disebabkan oleh ketidaktahuan mengenai siapa yang harus dihubungi atau diajak bicara, adanya rasa bersalah, dan rasa khawatir tidak akan dimengerti yang membuat korban tidak mau melaporkan kasusnya,” kata dia.
Dalam acara peluncuran catatan akhir tahun 2023, ECPAT Indonesia juga memberikan penghargaan kepada beberapa pihak yang telah berkontribusi dalam upaya penghapusan eksploitasi seksual anak di Indonesia.
ECPAT Indonesia berharap, dengan adanya catatan akhir tahun 2023 ini, dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi semua pihak yang terkait dalam upaya penghapusan eksploitasi seksual anak di Indonesia, khususnya di ranah daring. ECPAT Indonesia juga berkomitmen untuk terus berkolaborasi dan berinovasi dalam menciptakan dunia yang bebas dari eksploitasi seksual anak.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar