Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Firman Wijaya menggambarkan situasi Indonesia saat ini sebagai prahara konstitusional, memunculkan ketegangan akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Firman menganggap palu godam MK pada 7 November 2023 memiliki efek getar luar biasa, meresahkan jagad peradilan.
"Putusan MK No. 90/PUU-XX/2023 terkait uji materi Pasal 169 Huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memiliki konflik dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ironisnya, keputusan tersebut, yang seharusnya bersifat final, dapat dilumat oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)," kata Firman di Jakarta, Jumat (10/11).
Firman yang juga Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) menyampaikan bahwa sejumlah hakim MK terlapor diduga melanggar prinsip penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman, termasuk konflik kepentingan hubungan keluarga dan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. Laporan telah diajukan terhadap hakim, menggugat independensi dan integritas mereka.
Pada sisi politik, uji konstitusional ini menjadi sorotan karena berpotensi memengaruhi peluang Gibran Rakabuming Raka. Menurut Firman, kepentingan politik menjadi faktor penting di balik skandal ini, merusak kredibilitas MK dan menimbulkan keraguan terhadap independensinya.
"Kritik pun tidak hanya terhadap putusan MK, melainkan juga terhadap pemahaman hakim MK Anwar Usman mengenai konflik kepentingan. Firman menyoroti tradisi yang berlangsung lama di MK, di mana hakim merasa bebas membangun legal reasoning mereka. Namun, putusan MKMK dapat dianggap sebagai penolakan terhadap tradisi ini, menimbulkan paradoks dalam sistem peradilan," pungkasnya.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar