Krisis demokrasi yang semakin dalam di Indonesia kembali memunculkan sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat sipil, terutama kaum muda. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat calon presiden/wakil presiden baru-baru ini memicu gelombang protes dan keprihatinan di kalangan rakyat. Keputusan ini dianggap sebagai langkah menuju dinasti politik, yang mencerminkan intervensi kekuasaan dan menyalahi semangat demokrasi.
Presiden Jokowi telah memainkan peran kunci dalam memberikan sokongan kepada putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden pada Pemilu 2024. Keputusan ini telah mencetuskan pro dan kontra di masyarakat, dengan banyak kalangan yang menilai hal ini sebagai langkah menuju oligarki politik, yang merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Axel Paskalis, peneliti dari Public Virtue Research Institute, menyatakan, "Pembentukan dinasti politik Presiden Jokowi merupakan satu dari sekian banyak fenomena yang menandakan bahwa kekuasaan oligarki masih sangat kuat di negeri ini. Oligarki adalah sistem yang membolehkan segelintir elit untuk menyalahgunakan institusi-institusi publik untuk kepentingan penumpukan kekayaan privat."
"Beberapa kebijakan kontroversial yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti revisi UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan Revisi UU MK, semakin menegaskan dominasi kekuasaan oligarki. Kebijakan-kebijakan ini telah merongrong mekanisme kontrol demokratis, menghancurkan aturan main demokrasi, dan memperdalam jurang sosio-ekonomi di masyarakat," kata Axel dalam kegiatan konferensi pers menyikapi putusan MKMK, dalam rangka memastikan MKMK memecat Ketua dan hakim MK yang melanggar etik, serta menguak skandal intervensi eksekutif dalam putusan MK, di Jakarta, Senin (06/11/2023).
Menurut para aktivis muda yang tergabung dalam aksi protes ini, ketidakadilan politik ini juga melibatkan kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Keterwakilan perempuan, yang seharusnya menjadi wujud affirmative action, justru direnggut oleh kebijakan politik dinasti.
Di samping itu, sistem politik yang ada telah membatasi partisipasi politik progresif dari masyarakat. Ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang masih ada dalam UU Pemilu tidak hanya membatasi peluang partai-partai kecil, tetapi juga mempersempit makna Pemilu sebagai pertarungan gagasan dan ideologi.
Meskipun terdapat wacana tentang peran orang muda dalam politik, namun pada kenyataannya, narasi tersebut diambil alih oleh elit untuk mendukung dinasti politik mereka. "Pemimpin muda" yang seharusnya mencerminkan ide baru dan perubahan, justru dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan elit.
Dalam menyikapi situasi ini, para aktivis muda bersatu dalam menuntut perubahan nyata. Mereka menyerukan:
1. Pecat Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang melanggar etik secara tidak hormat.
2. Mundurkan semua pejabat publik yang terlibat konflik kepentingan dengan Pemilu 2024, termasuk Presiden Joko Widodo.
3. Hapuskan ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dengan menjadikannya 0% dalam UU Pemilu.
4. Cabut seluruh undang-undang dan kebijakan yang mendukung kekuasaan oligarki.
Para aktivis juga mengajak seluruh orang muda di Indonesia untuk bersatu dan membangun kekuatan politik progresif. Mereka menekankan pentingnya kedaulatan rakyat dalam merancang masa depan demokrasi Indonesia. Aksi protes ini diharapkan dapat menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya memperjuangkan demokrasi yang adil dan merata bagi semua warga negara.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar