Pada tahun 2021-2022, UU Ibu Kota Negara (IKN) disusun dalam waktu yang sangat singkat, dari tanggal 7 Desember 2021 hingga 18 Januari 2022, meskipun Senator Fachrul Razi telah mengingatkan agar penyusunan tidak tergesa-gesa. Keputusan untuk menyusun undang-undang dengan cepat ini, saat ini memunculkan berbagai masalah dalam implementasinya.
Dalam proses pembahasan, terdapat sembilan kluster substansi pokok revisi UU IKN, termasuk kewenangan Otorita IKN, pertanahan, pengelolaan keuangan, pengisian jabatan Otorita IKN, penyelenggaraan perumahan, batas wilayah, tata ruang, mitra di DPR RI, dan jaminan berkelanjutan. Revisi bertujuan untuk memperkuat kedudukan dan kewenangan Otorita IKN, menciptakan ekosistem investasi yang ramah, dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
Demikian ucap Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi, saat memberikan catatan kritis pada Pandangan Akhir Mini DPD RI dalam Rapat Kerja Pembahasan Tingkat I RUU tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara bersama DPR RI dan Pemerintah pada Selasa (19/09/2023). RUU ini dibahas secara marathon sejak akhir Agustus lalu dan berhasil disepakati secara tri partit oleh DPR RI, DPD RI dan Pemerintah untuk dilanjutkan pada tahap persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna Tingkat II.
Namun, DPD RI memiliki beberapa catatan kritis terkait revisi ini. Pertama, DPD RI menekankan pentingnya menghindari pembiayaan IKN yang membebani APBN dan berorientasi pada utang luar negeri, mengingat utang luar negeri Indonesia yang sudah membengkak.
Kedua, DPD RI menyarankan agar swastanisasi IKN dilakukan dengan hati-hati, agar penguasaan lahan oleh pihak swasta tidak membahayakan eksistensi pemerintah sebagai penjamin wilayah dan masyarakatnya.
Ketiga, DPD RI ingin melibatkan partisipasi penduduk asli dalam pengaturan alih fungsi lahan, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya.
Keempat, DPD RI menekankan perlunya memperhatikan aspek geopolitik dan geostrategi dalam pembangunan IKN, sebagai bagian dari pertahanan negara.
Kelima, pentingnya integrasi Tata Ruang IKN, Tata Ruang provinsi sekitar IKN, dan Tata Ruang Nasional yang memiliki desain yang tepat.
Keenam, DPD RI ingin diikutsertakan dalam pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Ketujuh, DPD RI meragukan penggunaan istilah "otorita" dan pengaturannya dalam pemerintahan daerah khusus Ibu Kota Negara, yang tidak sesuai dengan UUD Tahun 1945.
Rapat Kerja Pembahasan Tingkat I RUU IKN dihadiri oleh Komisi II DPR, DPD RI, dan Pemerintah/Kementerian Terkait, dan hasilnya disepakati secara tripartit untuk dilanjutkan pada tahap persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna Tingkat II. Dengan begitu, isu-isu tersebut akan terus menjadi fokus dalam perjalanan pembangunan Ibu Kota Negara.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar