Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan atas tanah ulayatnya di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi saat konferensi pers bertema “Pengakuan Hutan Adat di Indonesia: Peluang dan Tantangan” di Hotel Ashley Tanah Abang, Jakarta (09/05/2023).
Menurut Delima, berbagai upaya telah dilakukan seperti lobi dan audiensi dengan pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat (Kantor Staf Kepresidenan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), DPR/DPRD, Komnas HAM, Komnas HAM. tentang Kekerasan terhadap Perempuan, dan lembaga negara lainnya. Mereka juga melakukan aksi damai di tingkat kabupaten, provinsi, dan pusat. Namun hingga kini belum mendapat tanggapan serius.
Delima memimpin advokasi 7.213 hektar lahan hutan tropis untuk enam masyarakat adat di Sumatera Utara. Perjuangannya telah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Namun sampai saat ini masyarakat adat khususnya di Kabupaten Humbang Hasundutan belum mendapatkan haknya karena belum adanya pengakuan pemerintah.
Lebih lanjut, Delima menambahkan, ketiadaan pengakuan pemerintah membuat masyarakat adat rentan terhadap kriminalisasi atau intimidasi oleh pemilik lahan—khususnya korporasi—yang tumpang tindih dengan tanah adatnya.
Upaya Delima untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat selama satu dekade terakhir membuatnya mendapatkan Penghargaan Lingkungan Goldman 2023. Penghargaan ini membuka mata bahwa kedaulatan hutan adat Indonesia harus terus diperjuangkan.
Masih kata Delima, tanah ulayat merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat adat yang telah diwariskan secara turun-temurun. “Kita hemat sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, menjaga hutan dan sumber air, menanam pohon alam, dan mengembangkan kemenyan sebagai sumber kehidupan. Yang kita perjuangkan bukan hanya untuk kepentingan kita sendiri tetapi juga untuk keselamatan lingkungan kita," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Perwakilan masyarakat adat Pargamanan Bintang Maria di Humbang Hasundutan, Eva Lumban Gaol, membenarkan perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan negara masih menghadapi beberapa tantangan. Menurutnya, masyarakat adat telah mempersiapkan segala macam persyaratan administrasi untuk mendapatkan pengakuan. Namun hingga saat ini belum ada keputusan dari pemerintah pusat dan Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan.
“Hal paling menantang yang kami hadapi adalah di tingkat kabupaten, yaitu terbitnya peraturan daerah tentang pengakuan tanah dan hutan ulayat bagi masyarakat Pargamanan Bintang Maria,” kata Eva.
Ia berharap pemerintah pusat dan daerah lebih bersinergi untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat. Pengakuan terhadap kelangsungan tanah ulayat, menurut Eva, secara tidak langsung menjadi bagian dari upaya penyelamatan lingkungan yang juga menjadi target pembangunan berkelanjutan pemerintah Indonesia.
Sementara itu, Pakar Utama Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP), Usep Setiawan sepakat, pemerintah perlu meningkatkan keseriusan dalam percepatan pengakuan keberadaan masyarakat adat dan wilayahnya.
“Pengakuan hutan adat dan tanah ulayat sebagai hak milik masyarakat adat harus lebih diperluas di masa kini dan masa mendatang. Aparatur pelayanan dan alokasi anggaran negara di pusat dan daerah harus terus ditingkatkan,” ujarnya.
Menurut Usep, KSP juga berupaya mendorong pengakuan ruang hidup masyarakat adat dengan menjalankan fungsi: percepatan program prioritas, debottlenecking jika ada hambatan, dan komunikasi politik dan publik.
"Tantangan utama yang perlu mendapat perhatian saat ini adalah integrasi regulasi terkait masyarakat adat dan keharmonisan aparatur birokrasi pemerintahan," pungkasnya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar