Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK Budiardjo menduga ada upaya untuk membungkam suara para korban mafia tanah. Salah satu caranya adalah dengan melakukan kriminalisasi terhadap para korban mafia tanah, termasuk dirinya.
“Kriminalisasi adalah upaya membungkam seluruh korban mafia tanah untuk berhenti berjuang dalam memperoleh hak atas tanah mereka yang dirampas mafia tanah beserta bekingnya,” ujar Budiardjo kepada awak media di Jakarta, Selasa (10/01/2023).
"Kasus ini sebenarnya murni kriminalisasi karena pasal yang disangkakan Pasal 263 dan Pasal 266. Sementara Pak Budi adalah pembeli yang beritikad baik. Pasal 263 dan Pasal 266 sangat tidak memenuhi unsur karena tidak ada surat yang dia palsukan, dan dia tidak pernah menyuruh orang atau menggunakan juga tidak ada, Budi hanya selaku pembeli yang beritikad baik dan dari pihak penyidik tidak pernah menunjukkan surat yang mana yang dipalsukan," kata Adv. M. Yahya Rasyid, S.H selaku kuasa hukum SK Budiardjo dalam jumpa pers di Kejaksaan Negeri Jakarta Barat.
"Padahal Kami selaku Kuasa Hukum sudah minta hasil berita acara hasil penyelidikannya tapi tidak ada dikasih, jadi kami tidak tahu apa yang dipalsukan nah ini betul-betul kriminalisasi, kalau memang giriknya itu palsu seharusnya penjual atau lurah atau camat juga harus ikut jadi tersangka," tegasnya.
Kemudian, Ia menyinggung arahan Presiden Joko Widodo kepada Kapolri dan Kejaksaan Agung terkait pemberantasan mafia tanah. Dimana poinnya, siapapun orangnya, jika terindikasi terlibat dalam mafia tanah harus ditindak tanpa pandang bulu.
Lebih lanjut, Ia menuturkan, apa yang dialami Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK Budiarjo bersama istrinya Nurlela sampai ditahan oleh kejaksaan adalah preseden buruk bagi pemberantasan mafia tanah.
Disisi lain, Budi memastikan bahwa dokumen atas kepemilikan tanahnya sah. Sebab, dokumen itu sudah diverifikasi oleh berbagai instansi pemerintah, seperti Wali Kota Jakarta Barat, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PAN dan RB, serta Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam).
Sebaliknya, kata Budi, pihak perusahaan yang melaporkannya memiliki surat HGB tahun 1997, tetapi akte perusahaan baru berdiri pada 2010.
"Menurut penyidik, telah terjadi peralihan hak dari PT BMJ ke PT SSA pada 2010. Surat wali kota menyebutkan tidak ada peralihan hak, yang ada KSO antara PT SSA dan BMJ. Ini jadi masalah. Ini menjadi pertanyaan menarik, betul ada peralihan hak, lalu pembayaran PBB, pajaknya? Yang paling menarik, sertifikatnya tahun 1997, tetapi data Kemenkumham menunjukkan akte perusahaan PT BMJ tercatat baru berdiri pada 2009," pungkasnya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar