Hari ini, Rabu (22/10) Tim Kuasa Hukum Arman Hanis sedang mengidentifikasi dan mempelajari berkas perkara yang diserahkan Jaksa kemarin sore (Selasa, 11/10). Kami menghargai pihak Kejaksaan yang telah memberikan salinan Dakwaan & Berkas Perkara meskipun terdapat sejumlah catatan yang Kami harap dapat diperbaiki ke depan, yaitu:
a. Mengacu pada Pasal 143 ayat (4) KUHAP dan penjelasan seharusnya Dakwaan dan, seluruh salinan surat pelimpahan sudah disampaikan pada saat bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri (Senin, 10/10);
b. Masih terdapat kekurangan sejumlah dokumen dalam berkas perkara yang diserahkan, diantaranya; berita acara dan dokumen keterangan ahli psikologi forensik, hasil lie detector, balistik, dan keterangan ahli yang lainnya. Kami telah berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan terkait kekurangan tersebut dan berharap dapat segera dilengkapi sesuai KUHAP.
"Penerimaan berkas perkara yang sama antara yang diserahkan pada Pengadilan Negeri dengan yang diserahkan pada Terdakwa/Kuasa hukum adalah amanat Undang-undang, yaitu Pasal 143 ayat (4) KUHAP, dan hal ini sangat menentukan untuk mewujudkan apakah persidangan dapat dilakukan secara objektif atau tidak ke depan," kata Arman Hanis.
Disisi lain, ujar Arman, Tim Kuasa Hukum berharap selain pembuktian fakta-fakta di persidangan, kepatuhan pelaksanaan hukum acara yang berlaku sangat penting agar harapan kita bersama "FAIR TRIAL" dapat terwujud.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menentukan jadwal sidang untuk pak Ferdy Sambo dan Bu Putri Candrawathi pada Senin, 17 Oktober 2022. "Klien Kami sudah menyatakan komitmen yang kuat untuk menjalani proses hukum secara koperatif. Baik Pak Ferdy Sambo ataupun Bu Putri akan mengakui dan menjelaskan apa yang dilakukan, namun jika ada informasi yang tidak benar, tentu Kami akan mengajukan bukti-bukti yang objektif," ungkapnya.
Sekali lagi, Arman menuturkan, Kami juga berharap pada semua pihak agar menghormati proses peradilan, menghargai independensi dan imparsialitas Hakim sehingga tidak terjadi proses penghakiman. sebelum persidangan dilakukan. Hal ini merupakan salah satu cara kita bersama mewujudkan peradilan yang objektif dan berkeadilan untuk semua, baik untuk keluarga korban, pihak yang terkait dan hak-hak para terdakwa.
Sebagaimana pernah Kami sampaikan sebelumnya, baik Pak Ferdy Sambo ataupun Bu Putri Chandrawathi sangat ingin persidangan segera dilakukan agar seluruh fakta-fakta yang terbuka diuji di proses persidangan.
Kami menyadari masih terdapat ketidak-percayaan di publik karena adanya Skenario/Rekayasa yang terjadi sebelumnya. Namun demi objektifitas dalam penanganan perkara ini, agar semu pihak bisa lebih jernih memahami persoalan yang terjadi.
Pada kesempatan yang sama, Febri Diansyah menjelaskan adanya tiga fase utama dalam proses penanganan perkara ini. Pemisahan antara FASE SKENARIO atau REKAYASA sangat penting untuk melihat mana yang BENAR dan TIDAK BENAR. Jangan sampai fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi menjadi kabur karena campur-aduknya FASE SKENARIO atau REKAYASA atau ada yang menyebutnya sebagai FASE KEBOHONGAN dengan FASE PENEGAKAN HUKUM lanjutan ketika para tersangka dan saksi sudah memberikan keterangan dengan benar.
Sebelum saya menyerahkan pada Rekan Febri Diansyah, saya perlu mengingatkan kita semua terkait dengan prinsip dasar Justice Collaborator (IC). Secara normatif, Kami menghargai ketika seorang pelaku bersedia menjadi JC.
Mengacu pada Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung. Kapolri, KPK, dan LPSK. maka seorang IC bukanlah pelaku utama, harus mengakui terlebih dahulu semua perbuatannya, wajib jujur menyampaikan keterangan, tidak boleh berbohong, apalagi hanya untuk mengejar iming-iming keringanan hukuman, dan wajib untuk konsisten dalam setiap proses pemeriksaan.
"Dan yang paling penting, Jangan sampai konsep ideal JC yang sangat baik kemudian dirusak oleh pihak-pihak yang memanfaatkan label JC dan melakukan kebohongan. Jika hal ini terjadi, tentu sulit mengharapkan terwujudkan peradilan yang objektif dan berkeadilan," tegasnya.
Kami mengajak publik tidak terjebak pada narasi menang dan kalah, namun lebih pada upaya menguji fakta-fakta di persidangan yang terbuka, menemukan kebenaran hingga tercapainya keputusan yang adil bagi semua pihak. Kami setuju, Pelaku yang bersalah dihukum sesuai dengan perbuatannya, namun yang tidak bersalah dibebaskan.
"Berikutnya, Kami kembalikan pada Kak Sarmauli untuk proses lebih lanjut, yaitu penayangan video rumah di Magelang. Perlu Kami sampaikan sejak awal, banyak fakta kunci dalam perkara ini yang terjadi di Magelang dan seharusnya diungkap secara terang benderang," pungkasnya. (Arianto).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar