Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan The State of Indonesia's Forests (SOIFO) 2022 yang merupakan dokumentasi kebijakan pemerintah mengelola hutan dan lingkungan selama 2021-2022.
Peluncuran SOIFO 2022 dilakukan disela sidang The Committee on Forestry (COFO)-26, di kantor pusat FAO, Roma, Italia, Selasa, 4 Oktober 2022.
Dalam kesempatan tersebut dilakukan pembahasan Indonesia's Plans for Carbon-positive Forests by 2030.
"Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyiapan dan penyusunan publikasi ini," ujar Menteri LHK Siti Nurbaya dalam keterangan persnya di Roma Italia Selasa (04/10/2022).
Acara peluncuran SOIFO 2022 turut dihadiri oleh para Duta Besar Anggota FAO di Roma; Kepala Ekonom, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, Máximo Torero; Penasihat Iklim Senior Departemen Pertanian Amerika Serikat, Sean Babington; Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Agus Justianto; Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo, juga para delegasi baik yang hadir langsung atau online.
Melalui SOIFO 2022 ini, Menteri Siti menyampaikan ingin berbagi ide yang sama dengan SOFO 2022, dalam konteks Indonesia. SOFO 2022 merupakan dokumentasi kehutanan dunia yang dipublikasikan FAO.
Menteri Siti mengajak semua delegasi untuk juga berbagi pengalaman dalam mengelola hutan secara lestari, dan menyampaikan ide-ide tentang bagaimana kita dapat berkolaborasi untuk menjadikan hutan dan penggunaan lahan lainnya sebagai kisah sukses dalam aksi iklim global.
"Semua upaya kami untuk mencapai FOLU Net Sink 2030 juga telah dituangkan dalam publikasi baru kami ini," ungkapnya.
Pada kesempatan tersebut, Menteri Siti menyampaikan bahwa Indonesia telah menyerahkan Enhanced NDC ke Sekretariat UNFCCC pada 23 September 2022, yang mencerminkan peningkatan target penurunan emisi dari 29% menjadi 31,89% tanpa syarat; dan 41% menjadi 43,20% bersyarat.
Enhanced NDC ini merupakan transisi menuju NDC Kedua Indonesia yang sejalan dengan Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dengan visi untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
NDC terbaru ini juga menggambarkan tindakan yang ditingkatkan dan lingkungan pendukung yang diperlukan yang telah meletakkan dasar untuk tujuan yang lebih ambisius, berkontribusi pada upaya bersama untuk mencegah peningkatan suhu rata-rata global 2 °C dan untuk mengejar upaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 °C di atas tingkat pra-industri.
"Beberapa kebijakan dan implementasi program akan terus diperkuat dan ditingkatkan untuk menjawab tantangan yang dihadapi sektor kehutanan dan dampak perubahan iklim. Sejumlah kebijakan dan implementasi program pun telah mengalami perubahan dan kemajuan yang signifikan," ujarnya.
Lebih lanjut, Menteri Siti menyampaikan Indonesia berpandangan bahwa hutan dan tata guna lahan memainkan peran penting dalam mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.
Indonesia menganggap Kehutanan dan Tata Guna Lahan (FOLU) sebagai sektor utama dalam mencapai target NDC. Seperti yang diketahui, sebagian besar pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia akan dipenuhi oleh FOLU dan setelah melakukan analisis menyeluruh. Pemerintah Indonesia juga telah merumuskan sejumlah strategi untuk mencapai FOLU Net Sink 2030.
"Kami yakin bahwa kami akan berada dalam kondisi net sink untuk sektor FOLU pada tahun 2030. Inilah cara kami meningkatkan ambisi kami melalui pencapaian tambahan yang kami peroleh sejak NDC kami dikembangkan. Ini juga merupakan strategi kami dalam mencapai NDC kami dengan membuat sektor FOLU mapan, sementara kami secara bersamaan meningkatkan sektor penting lainnya, energi, dan sektor lahan basah dan kelautan, karbon biru," tutur Menteri Siti Nurbaya.
Sebagai bagian dari LTS-LCCR, FOLU Net Sink 2030 Indonesia menggunakan tiga modalitas kerja yang terdiri dari Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, Tata Kelola Lingkungan, dan Tata Kelola Karbon.
Sementara itu Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto mengatakan hutan berperan penting dalam pemulihan pasca Covid-19 dan transisi menuju ekonomi berkelanjutan.
Untuk itu, pemerintah kini mendorong implementasi multi usaha kehutanan. "Pengembangan multi usaha kehutanan akan mengoptimalkan pemanfaatan hutan berkelanjutan yang mencakup hasil hutan kayu, non kayu, dan jasa lingkungan," katanya.
Untuk mendukung kebijakan multi usaha kehutanan, pemerintah melakukan penyederhanaan perizinan dan meningkatkan pelayanan. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan nilai ekonomi hutan, menggenjot kinerja ekspor, membuka lapangan pekerjaan, dan memicu kesejahteraan masyarakat.
Agus juga menekankan, kebijakan pengelolaan hutan saat ini adalah membuka akses yang luas bagi masyarakat melalui perhutanan sosial dan pengakuan hutan adat.
Agus juga mengarisbawahi upaya restorasi dan rehabilitasi ekosistem hutan yang dilakukan seiring dengan penguatan konservasi keanekaragaman hayati.
Sementara itu Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo mengatakan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di areal 30 juta Ha siap mendukung target pencapaian Net Sink Folu 2030.
"Serangkaian aksi mitigasi sedang disiapkan PBPH, dari mengindarkan deforestasi dan degradasi, penerapan PHL, perluasan hutan tanaman, rehabilitasi dan restorasi gambut serta perlindungan keanekragaman hayati," kata Indroyono.
Indroyono menambahkan, diperlukan 14 miliar dolar AS untuk pembiayaan aksi mitigasi tersebut.
"Dari jumlah tersebut, sekitar 55% atau 7,7 miliar dolar dolar AS berasal dari investasi swasta," kata Indroyono.
Lebih lanjut, Indroyono juga menegaskan perlunya kerja sama internasional untuk mendukung investasi tersebut. (Ari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar