Ombudsman RI menyampaikan sejumlah tindakan korektif yang tertuang dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kepada Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, terkait dugaan maladministrasi dalam penahanan dan penolakan produk impor hortikultura.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika menyampaikan, tindakan korektif yang pertama, yakni agar Menteri Pertanian memerintahkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian untuk segera melakukan pengeluaran barang impor produk hortikultura milik pelapor yang telah ditahan pada saat tiba di tempat pemasukan mulai 27 Agustus - 30 September 2022.
“Adapun proses pengeluaran ini didahului dengan uji laboratorium guna memastikan keamanan pangan. Terkait poin ini, Ombudsman memberikan waktu selama lima hari kerja kepada Kementan untuk melaksanakan tindakan korektif dan melaporkan hasil pelaksanannya kepada Ombudsman,” ujar Yeka dalam konferensi pers Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) di Kantor Ombudsman RI Jakarta Selatan, Senin (26/9/2022).
Yeka mengungkapkan, pada Kamis (22/9/2022) lalu pihak Kementan sudah memberikan solusi bersyarat dengan mengizinkan pengeluaran barang impor produk hortikultura yang belum memiliki Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) namun telah mengantongi Surat Persetujuan Impor (SPI).
“Tapi hingga saat ini, barang belum dilepas. Ombudsman akan menerjunkan tim untuk sidak. Ombudsman mempertanyakan mengapa sudah dilakukan uji laboratorium dan tidak ada masalah, namun barang masih belum dilepaskan oleh Barantan (Badan Karantina Pertanian),” jelas Yeka.
Tindakan korektif kedua, agar Kemenko Bidang Perekonomian, Kementan dan Kemendag melakukan koordinasi dan harmonisasi kebijakan terkait dengan prosedur dan mekanisme importasi produk hortikultura pada saat belum tersedianya Neraca Komoditas. Dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Tindakan korektif ketiga, kepada Kemenko Bidang Perekonomian untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Paket Kebijakan Ekonomi XV, yang terkait dengan pergeseran pemeriksaan Border ke Post Border pada produk hortikultura, guna mendukung kelancaran arus barang ekspor dan impor di Pelabuhan. Ombudsman memberikan waktu selama 60 hari kerja kepada para pihak untuk menindaklanjuti tindakan korektif kedua dan ketiga, serta melaporkan setiap perkembangannya kepada Ombudsman.
Lebih lanjut, Yeka menjelaskan, dalam kasus penahanan dan penolakan produk impor hortikultura ini pihaknya menyoroti adanya disharmoni regulasi kebijakan impor produk hortikultura. “Ombudsman berpendapat, RIPH memiliki tujuan yang baik atas keamanan pangan, akan tetapi RIPH tidak memiliki legal standing yang kuat. Karena PP Nomor 26/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian tidak mengatur ketentuan mengenai Rekomendasi Impor Produk Hortikultura apabila Neraca Komoditas belum tersedia. Hal ini menimbulkan disharmoni peraturan pelaksana lainnya,” ucapnya.
Disharmonisasi peraturan ini, menurut Yeka, mengakibatkan terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, ketidakpastian hukum, ketidakjelasan standar pelayanan dalam kegiatan tata niaga importasi produk hortikultura yang diterima oleh masyarakat pelaku usaha.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan menyampaikan, pihaknya diundang oleh Ombudsman karena telah menyusun kajian terkait impor pangan.
“Kami sudah sampaikan hasilnya kepada Menteri Pertanian pada Maret 2022, salah satu hasilnya bahwa RIPH perlu perbaikan. Karena ada UU Cipta Kerja, rekomendasi hasil kajian itu adalah memasukkan hortikultura ke dalam Neraca Komoditas mulai tahun 2022,” ungkapnya.
Neraca Komoditas merupakan sebuah sistem nasional data dan informasi yang akan menjadi referensi utama dalam pengambilan kebijakan terkait ekspor dan impor.
Pahala menambahkan, mestinya mulai Juni 2022 sudah mulai ada struktur nyata terkait produk hortikultura masuk ke Neraca Komoditas untuk disetor kepada Kemenko Bidang Perekonomian. “Dengan masuknya hortikultura ke dalam Neraca Komoditas maka peran Kementerian Pertanian akan semakin kuat dalam kontrol kualitas, keamanan pangan hingga fungsi pengawasannya,” tutur Pahala.
Lebih jauh, Pahala menyampaikan apresiasi kepada Ombudsman yang merespons laporan masyarakat dengan cepat. Kasus ini menurutnya, merupakan pengingat agar Neraca Komoditas segera diwujudkan.
Sementara itu, Dirjen Hortikultura Kementan, Prihasto Setyanto menyampaikan, terkait adanya beberapa regulasi yang belum harmonis, pihaknya akan menindaklanjuti LAHP Ombudsman.
“Kami dari Ditjen Hortikultura yang mendapatkan mandat dari Menteri Pertanian untuk menerbitkan dan menolak RIPH, siap bergandengan dengan Ombudsman dan Deputi Pencegahan KPK. Agar ke depan tidak terjadi lagi misinterpretasi, supaya lingkungan usaha tidak terganggu,” ujarnya.
Sebelumnya, pada tanggal 9 September 2022 Ombudsman menerima laporan masyarakat dari para pelaku usaha (importir), yang menyampaikan pengaduan dan keberatan atas penahanan produk impor hortikultura oleh Badan Karantina Pertanian dengan alasan tidak memiliki RIPH di Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak dan Belawan. Padahal mereka sudah memiliki SPI dari Kementerian Perdagangan. Pelapor merupakan pelaku usaha yang mengimpor produk hortikultura seperti jeruk mandarin, lemon, anggur, cabai kering, dan lengkeng.
Alhasil, Dampak ditahannya produk impor hortikultura telah menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha. Produk impor hortikultura yang tertahan hingga 14 September 2022 mencapai 1.477 ton dengan nilai barang mencapai Rp31,5 miliar. Selain itu, tertahannya produk tersebut, membuat pelaku usaha harus mengeluarkan biaya tambahan seperti biaya penumpukan, biaya listrik dan biaya demurrage di pelabuhan yang mencapai Rp3,2 miliar. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar