Penunjukan Pj (Penjabat) Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo perlu melihat realitas Jakarta sebagai barometer politik nasional dan menunjukan komitmen dan upaya konkret pemerintah membangun politik kebangsaan dan menguatkan integrasi bangsa di tengah residu trauma politik identitas pada Pilkada 2017 dan Pilpres 2019 lalu.
Oleh karena itu, figur Pj Gubernur DKI Jakarta harus memenuhi kriteria sebagai sosok yang netral, inklusif dan sosok kuat yang bisa menjadi penyeimbang efektif di tengah pembelahan akibat polarisasi politik yang masih terjadi di masyarakat. Sosok seperti ini diyakini bisa memahami Jakarta secara lengkap sehingga mampu memimpin Jakarta di masa transisi, menuju Pemilu Serentak 2024 sekaligus transisi ibu kota ke IKN.
Pokok gagasan ini muncul dalam gelaran diskusi media PARA Syndicate yang bertajuk "Mencari Pj Gubernur DKI Pengganti Anies Baswedan: Siapa Cocok?" pada Jumat (9/9/2022). Dalam diskusi yang dipandu Lutfia Harizuandini (peneliti PARA Syndicate) sebagai moderator, beberapa panelis yang turut hadir adalah; Aditya Perdana (Direktur Eksekutif ALGORITMA Research and Consulting), Arif Susanto (Analis Politik Exposit Strategic), dan Ari Nurcahyo (Direktur Eksekutif PARA Syndicate).
Saat ini, DPRD DKI Jakarta akan menggelar Rapat Pimpinan Gabungan (Rapimgab) untuk menentukan usulan tiga nama calon Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta pengganti Anies Baswedan. Diketahui, masa jabatan Anies Baswedan berakhir 16 Oktober mendatang.
Diskusi itu dimulai dengan pemaparan Ari Nurcahyo. Menurut Ari, Pj Gubernur DKI harus sosok yang netral dan berintegritas. Artinya, tidak menjadi bagian dari relasi politik dan kekuasaan yang menyebabkan pembelahan masif akibat polarisasi politik indentitas, sosok tersebut tidak terlibat dalam keterbelahan dalam kubu “cebong” vs “kampret” – suatu dikotomi yang muncul akibat pembelahan politik dari kontestasi pilkada Ahok vs Anies dan berlanjut pilpres Jokowi vs Prabowo. Sosok Pj harus representasi antitesa itu.
Ari juga menambahkan bahwa penunjukan Pj Gubernur DKI Jakarta begitu penting. Selain sebagai pemimpin ibukota, Jakarta mesti bisa membereskan perpecahan politik identitas yang dimulai pada Pilkada 2017 lalu. "Penunjukan Pj Gubernur DKI harus menjadi contoh konkret meneguhkan politik kebangsaan untuk melawan politik identitas," ujarnya.
Apalagi, bagi Ari, Jakarta merupakan barometer politik nasional. Semua yang terjadi di Jakarta menjadi sorotan nasional. Presiden dan partai politik pun mestinya meneguhkan politik kebangsaan dan perlawanan terhadap politik identitas. "Maka, Pj Gubernur DKI harus memiliki kriteria netralitas, berintegritas, dan profesional," lanjutnya.
Sementara itu, analis politik Exposit Strategic Arif Susanto memberikan lima kriteria bagi Pj Gubernur DKI Jakarta, di antaranya inklusif dan paham permasalahan Jakarta. Dalam jangka waktu pendek bagi Pj mengharuskan pengganti Anies memahami serta adaptif pada permasalahan kompleks di Jakarta. Kompleksitas permasalahan keseharian (seperti kemacetan, ancaman banjir, kemiskinan) di Jakarta ini memunculkan kriteria bahwa Pj Gubernur DKI harus berpengalaman dalam birokrasi nasional maupun daerah.
Selain itu, Pj Gubernur DKI setelah Anies diharapkan memiliki hubungan baik dengan DPRD maupun pemerintah daerah sekitar Jakarta. Diketahui, catatan gubernur sebelumsebelumnya seperti Jokowi, Ahok, dan Anies pernah mempunyai riwayat hubungan buruk dengan DPRD. Pj Gubernur DKI Jakarta memerlukan seorang komunikator yang baik.
Lalu Pj Gubernur DKI harus memiliki pemikiran dan sikap politik yang inklusif, mengingat adanya faktor keberagaman di Jakarta dan kerap terjadi perpecahan identitas karenanya. Terutama dalam cara pandang pada suku, agama, ras dan antargolongan.
“Pj Gubernur DKI Jakarta harus berorientasi inklusif,” kata Arif. Ini artinya, faktor politik bukanlah karakteristik tunggal, Jakarta memerlukan sosok yang mengayomi semua kelompok.
Terakhir, lanjut Arif, Pj Gubernur DKI harus memiliki keberpihakan pada rakyat. Selama ini prinsip kerakyatan hanya menjadi simbol semata. “Yang dibutuhkan adalah substansi kerakyatan itu sendiri, mengerti kebutuhan rakyat, dia tahu prioritas apa yang menjadi kebutuhan rakyat, itu yang dibutuhkan Pj Gubernur nantinya,” tandas dia.
Menanggapi kedua panelis sebelumnya, Direktur Eksektutif ALGORITMA Research and Consulting Aditya Perdana mengatakan, bahwa figur netralitas Pj Gubernur DKI dapat terlaksana dengan penunjukan dari unsur Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab ASN selama ini mengemban amanat menjalankan pemerintahan secara profesional sebagai birokrat.
Tentang polarisasi politik pun, lanjut Aditya, pejabat ASN tidak memiliki kepentingan dalam polarisasi politik kubu satu dengan lainnya karena sifatnya temporer. Hal ini dapat menjadi sosok penyeimbang bagi perpecahan politik yang terjadi di Jakarta.
Di samping itu, Pj Gubernur DKI Jakarta juga harus menjadi komunikator dan kolaborator yang baik, dalam lingkup pusat, daerah, maupun berbagai kelompok masyarakat. Apalagi Jakarta nantinya akan mengalami transisi dengan melepaskan gelar ibukotanya. “Maka Pj Gubernur DKI Jakarta harus memiliki visi transisi dan menjadikan Jakarta sebagai kota penting, meski bukan lagi ibukota,” pungkasnya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar