Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Prof. DR. Sutan Nasomal angkat bicara terkait perkembangan isu-isu dunia kewartawanan (pers) di Indonesia. Walaupun saat ini dia seorang akademisi, rektor di salah satu universitas swasta di Jakarta, dahulu Sutan Nasomal adalah seorang wartawan.
Dia menilai ada perang dingin sesama elemen pers yang ada di Indonesia, seperti dikatakannya pada _sinarpagibaru.id_.
Ia menanggapi perkembangan pers dewasa ini dan juga adanya Koalisi Wartawan Bersatu yang dibentuk oleh para aktivis pers yang terdiri dari elemen-elemen pers diantaranya wartawan, industri pers (media) dan organisasi pers.
Dia mengatakan elemen itu adalah kekuatan bagi institusi Dewan Pers dalam menjaga kebebasan pers di Indonesia.
"Kita mendukung apa yang menjadi tuntutan gerakan koalisi yang akan melakukan aksi secara berkesinambungan ke Dewan Pers dan Mabes Polri," katanya.
Dia berharap kedua pimpinan instansi itu mau menerima langsung perwakilan koalisi guna memahami kondisi dan situasi pers yang sebenarnya.
"Karena bukan tidak mungkin perang dingin bisa menjadi konflik horizontal antar sesama elemen pers yang menjalankan tugas dan fungsi sebagai penyedia jasa informasi publik di lapangan bila polemik terus dibiarkan,' ujarnya, Rabu (23/3/2022).
Melihat situasi saat ini, dia menduga ada oknum yang memanfaatkan program-program Dewan Pers untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, hingga menyulut api kemarahan para aktifis pers.
"Mengenai kebijakan Dewan Pers yang menjadi pro dan kontra, yakni pertama, tentang media terverifikasi.
"Media terverifikasi Dewan Pers adalah kegiatan Dewan Pers untuk PENDATAAN media terhadap industri pers yang masih eksis dan konsisten menjalankan tugas dan fungsi pers di lapangan," jelasnya.
"Dulu setiap redaksi wajib mengisi formulir dan melampirkan legalisasi badan hukum yang masih berlaku dan bukti tayang/ cetak penerbitan secara berkala, kemudian Dewan Pers mencatat nama-nama media tersebut dan menerbitkan Buku Data Media Dewan Pers," ungkapnya.
Namun belakangan ini, dikabarkan kuisioner formulir ditambah dan dianggap sebagai persyaratan mutlak, yakni sertifikasi kompetensi setiap jajaran redaksi mulai dari wartawan, redaktur hingga pemimpin redaksi. Bila tidak ada maka tidak terverifikasi atau tidak didata Dewan Pers.
'Kemudian kuisioner penepatan upah atau gaji wartawan yang diwajibkan memiliki SK Kementerian Ketenagakerjaan yang harus sesuai dengan standar UMR/ UMP nasional. Tentu ini dilema bagi media-media pemodal kecil dan menengah," lanjutnya.
Belum lagi, biaya untuk mengikuti ujian sertifikasi kompetensi.
"Setiap tingkatan yang nilainya jutaan rupiah bahkan terdengar kabar ada yang mencapai belasan juta untuk uji kompetensi utama. Itu pun kalau lulus," imbuhnya.
Esensi dari kebijakan itu, media-media yang belum terverifikasi langsung dieksekusi dan dicap secara terbuka kepada publik sebagai media abal-abal, odong-odong, dan atau media liar.
"Padahal media yang belum terverifikasi sudah jauh eksis sebelum persyaratan itu ditambah-tambahi," jelasnya.
"Hal ini patut disebut sebagai kejahatan “genosida” secara sistematis untuk menghancurkan atau memusnahkan sebagian atau seluruh kelompok tertentu," tuturnya.
Kedua, tentang wartawan kompeten dan tidak kompeten. Hal ini juga sebagai pemicu konflik. Secara singkat Sutan memaparkan, bahwa banyak sekali wartawan senior atau yang sudah lama melakukan tugas jurnalistiknya baik itu yang populer maupun yang tidak populer di masyarakat.
"Sekarang terdengar gaung yang kuat di hadapan publik, bahwa wartawan yang tidak memiliki sertifikasi kompetensi UKW adalah bukan wartawan ataupun wartawan liar," katanya.
Ini menimbulkan kesan bahwa Dewan Pers tidak punya etika dan moral terhadap para senior wartawan yang sudah bekerja sejak lama menjalankan tugas dan fungsi pers dalam memberikan informasi kepada publik selama ini. "Ini pun dapat dikategorikan kejahatan “Genosida”, tegas Sutan.
Ketiga, tentang organisasi wartawan konstituen Dewan Pers. Seingatnya, paska reformasi dulu banyak organisasi-organisasi wartawan yang turut serta membantu dan memperjuangkan Dewan Pers kala itu.
"Sekarang malah Dewan Pers mengklaim organisasi wartawan di Indonesia hanya tujuh organisasi. Di luar daripada itu dipropagandakan dan dibuat image sebagai organisasi liar, abal-abal, tidak sah dan sebagainya," sebutnya.
Di sisi lain, Dewan Pers tidak melihat nilai positifnya sama sekali. "Perjuangan mereka (organisasi pers yang dianggap tidak konstituen Dewan Pers-red) tengah berjuang mendidik, melatih dan membina para anggotanya untuk menjadi profesional," ungkapnya.
"Dewan Pers telah mempertontonkan perilaku yang buruk dihadapan aktifis pers. Ujung-ujungnya, figur jabatan Ketua Dewan Pers akan jadi kambing hitam perilaku jahat tersebut. Padahal ada oknum- oknum yang berkoar- koar merasa paling hebat dan berkuasa, yang lain harus tersingkir,"tegas Sutan.
Untuk itu, dia menghimbau Ketua Dewan Pers, Mohammad Nuh, untuk mau membenahi penerapan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Dewan Pers dengan cara arif dan bijaksana, dan membuang oknum-oknum yang congkak dan angkuh. Agar, Dewan Pers mampu menjadi 'holding' yang kuat.
"Mempersatukan semua elemen-elemen pers, dan merangkul organisasi pers sebagai perpanjangan tangan Dewan Pers dalam menata dan membentuk Pers Indonesia yang berkualitas dan profesional, serta mampu bersaing dengan media-media di tingkat internasional," harapnya.
Sebagai penutup konfirmasi, Sutan Nasomal berceloteh, biarlah peserta ujian UKW itu buat anak-anak muda saja, sedangkan yang senior sudah tua di tidak usah lah. "Aturan ketat dikasih ke media dan organisasi pers pemula saja. Kue jangan dimakan sendiri, sesama bis kota jangan saling mendahului,” tutupnya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar