Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Sepanjang tahun 2021 tidak ada yang menarik dari dunia penegakan hukum di tanah air kecuali masalah penerbitan Perpu Covid-19 yang kemudian dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk beberapa pasal, kemudian Surat Pemberhentian Perkara (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan terakhir pembentukan Satgas BLBI ini.
Terkait hal tersebut diatas, Solution Advocacy Institute menggelar diskusi publik bertemakan "Masalah dan Tantangan Satgas BLBI" Kamis (30/12) di Jakarta. Menurut Yosef B Badeoda, SH, MH, Praktisi dan Anggota DPR RI 2014-2019 tema tersebut cukup menarik sebagai bagian dari catatan akhir tahun di bidang penegakan hukum sepanjang tahun 2021.
Asal tahu saja, Berdasarkan diskusi publik Satu Meja The Forum, Kompas 16 April 2021 dengan judul, "Memburu Duit BLBI" sebagai bagian dari tanggapan publik terhadap pembentukan Satgas BLBI dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Penyelesaian masalah BLBI harus dilakukan secara simultan dan bersama-sama melalui mekanisme penyelesaian perdata dan pidana beserta aspek-aspek administrasi lainnya. Patut disayangkan bila ada anggapan karena perkara pidana BLBI sudah di SP3 oleh KPK kemudian Pemerintah beralih ke perdata sebagaimana yang dijelaskan oleh Menkopolhukam Mahfud MD.
2. Penyelesaian masalah BLBI diragukan selesai dalam jangka waktu 3 tahun, karena kompleksitas masalah BLBI dan adanya ketidaksepakatan soal posisi hak tagih negara menurut Pemerintah dan menurut para obligor dan debitur dana BLBI.
3. Satgas BLBI tidak memiliki pijakan hukum dan operasional di dalam menyelesaikan masalah BLBI. Undang-Undang (UU) Perampasan aset diperlukan untuk mempermudah penyelesaian BLBI.
Dari kesimpulan debat publik di atas, kata Yosef, kami melengkapinya dengan beberapa kritik terhadap Keppres Satgas BLBI antara lain sebagai berikut:
1. Dalam konsiderans Keppres disebut pembentukan Satgas BLBI dalam rangka "menangani dan memulihkan hak tagih negara atas dana BLBI. Namun dalam Pasal 3 Keppres ditambah tugas dan mandatnya tidak saja menangani dan memulihkan tetapi juga menyelesaikan hak tagih negara atas dana BLBI tersebut.
Dengan jangka waktu kerja Satgas BLBI hanya 3 tahun, maka tujuan dari pembentukan Satgas BLBI ini menjadi absurd apakah sekadar menangani dan memulihkan hak tagih negara atau lebih dari itu untuk menyelesaikan tuntas kasus BLBI. Jikalau hanya menangani dan memulihkan hak tagih negara bisa saja dilakukan dalam 3 tahun namun bila mau menyelesaikan hak tagih BLBI, maka pertanyaannya apakah mungkin ini dilakukan.
Faktanya, saat ini sebagian obligor dan debitur justru berkeberatan dengan penetapan mereka sebagai pihak yang memiliki utang bahkan ada yang sudah dan akan menggugat Pemerintah baik terkait dengan penetapan sebagai pihak yang yang punya utang maupun mengenai jumlah utang yang harus dibayar (vide kasus Texmaco dan Tommy Soeharto dan pemilik Aspac). Gugat menggugat dan lapor melapor akan terjadi bila para obligor/debitur membandel atau tidak terjadi kesepakatan dengan para obligor/debitur. Tentu semua ini memerlukan waktu yang lama. Jadi tidak cukup hanya 3 tahun.
2. Dasar hukum Keppres Satgas BLBI adalah kewenangan atribusi yang diskretif. Presiden sebagai kepala pemerintahan tertinggi negara yang sangat besar dan luas serta bebas. Hal ini dipertegas dengan ketentuan Pasal 3-7 Keppres Satgas BLBI yang memberikan mandat kepada Satgas BLBI yang terdiri dari Menkopolhukam dan jajarannya temasuk Kejagung dan Polri untuk mengambil langkah-langkah dan terobosan yang diperlukan dengan menggunakan semua instrumen kekuasaan negara dari pusat sampai daerah.
Ini mandat atributif dan diskretif yang sangat besar, luas dan sebebas-bebasnya. Tidak ada mekanisme Kontrol terhadap pelaksanaan kewenangan besar seperti ini berpotensi abuse of power dan sewenang-wenang.
Oleh karena itu, lanjut Yosef, diskusi kita bersama Satgas BLBI bagus sekali karena kita juga ingin tahu langkah terobosan seperti apa yang bisa dilakukan oleh Satgas BLBI. Misalnya, terobosan hukum yang menjadi ranah pengadilan apakah bisa dilakukan oleh Satgas BLBI. Kewenangan yang besar semestinya dibarengi dengan tanggung jawab yang besar pula.
Keppres Satgas BLBI menyebut tindakan Satgas BLBI merujuk atau sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertanyaannya, peraturan perundang-undangnya yang mana, jangan nanti dicari-cari tidak ada, karena tidak jelas pedomannya. Tanpa aturan main dan mekanisme kerja, Kami kira Keppres Satgas BLBI ini tidak cukup untuk menjamin adanya kepastian hukum. Kita perlu tahu bagaimana Satgas menyikapi hal ini.
3. Sepanjang yang kita baca dan dengar di publik, Satgas BLBI telah mengumumkan 48 obligor dan debitur dana BLBI. Kita juga dengar Satgas telah memanggil para obligor dan debitur bahkan anak-anak obligor dan debitur juga dipanggil. Kita juga mendengar Satgas BLBI telah melakukan penyitaan aset obligor dan debitur yang telah dijaminkan ke negara sebelumnya. Kita juga sudah mendengar Satgas BLBI telah melakukan cegah dan tangkal para obligor/debitur bepergian ke keluar negeri, mencabut akses pinjaman perbankan dan lain lain.
Kita ingin tahu sejauh mana semua hal itu bisa dilakukan oleh Satgas BLBI, dasar hukumnya apa, dan apakah hal itu tidak menggangu due process of law dari para obligor dan debitur yang misalnya telah mengambil langkah hukum atas penetapan diri mereka sebagai pihak berutang dengan sejumlah besar kewajiban/utang yang harus dibayar.
"Publik tentu berharap Satgas BLBI dapat bekerja sesuai dalam koridor hukum yang berlaku dengan menjunjung tinggi supremasi hukum, ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum," ungkapnya.
Akibat tidak ada aturan mainnya, banyak yang meledek Satgas BLBI kerjanya mirip debt collector yang bermodalkan surat kuasa kreditur, tahu alamat debitur, datang tagih dengan segala ancaman kemudian ambil atau sita barang. "Bedanya Satgas BLBI lebih hebat karena kuasanya dari Presiden sebagai kepala Pemerintahan Negara dan dapat menggunakan segala instrumen kekuasaan negara," ucapnya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar