Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Hampir mustahil memperbincangkan Nahdlatul Ulama dalam satu dekade
terakhir tanpa menyebut KH. Yahya Cholil Staquf. Peranannya sangat penting dalam menjaga dan melanjutkan kiprah NU pada tataran global. Bahkan, ia juga melakukan banyak terobosan untuk memperluas cakupan pengaruh lslam Indonesia sebagai komunitas muslim terbesar di dunia, la terlibat aktif dalam berbagai macam kegiatan internasional dalam rangka membawa misi perdamaian.
Sebagai seorang ulama yang sarat dengan teks-teks klasik lslam yang ketat, Gus Yahya memiliki keunikan tersendiri karena memiliki pisau analisis sosiologis. Selain mondok selama lima belas tahun di Krapyak, ia juga menyantri di Universitas Gajah Mada pada jurusan sosiologi. Analisis sosiologis ini sangat kental dalam percikan-percikan pemikirannya dalam melihat permasalahan dan tantangan yang dihadapi Nahdlatul Ulama saat ini dan di masa yang akan datang.
"Buku ini lahir dari proses tak sengaja. Sewaktu ia mengenal nama KH. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya berawal dari kontroversi kunjungannya ke Israel dalam rangka menjadi pembicara dalam kegiatan American Jewish Committee (AJC). Ia termasuk yang melihat kunjungan tersebut kontraproduktif dengan usaha untuk mencapai kemerdekaan dan perdamaian Palestina. Hal ini memantik ia untuk mengetahui lebih dalam tentang sosok Gus Yahya," kata Septa Dinata, Penulis Buku "Biografi KH. Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan" di Universitas Paramadina Jakarta Selatan, Minggu (19/12).
"Setelah membaca dari berbagai sumber, terutama yang diulas oleh media masa, pandangannya tak banyak berubah sampai kemudian menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Gus Yahya: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama. Dari buku inilah ia dapat memahami secara utuh pandangan dan sikap intelektual Gus Yahya dan menemukan hal-hal yang tak terduga dari sikapnya terhadap masalah Israel dan Palestina," ungkapnya.
Septa melihat, sebagai seorang kiai di pesantren, Gus Yahya memiliki keunikan tersendiri dari kiai-kiai yang lain. Di samping menguasai teks-teks kajian Islam klasik yang ketat, Gus Yahya juga memiliki pisau analisis ilmu sosial. Selain menekuni pendidikan pesantren selama kurang lebih 15 tahun di Krapyak, Gus Yahya juga belajar sosiologi di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.
Selain itu, Septa menambahkan, Analisis sosiologis ini sangat kental dalam pemikiran-pemikirannya, khususnya dalam melihat dunia Islam. Dan yang tak kalah penting adalah analisis-analisisnya terhadap persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh Nahdlatul Ulama. Gus Yahya memiliki cara pandang yang tajam dan menawarkan pemikiran-pemikiran yang sangat realistis.
Namun, lanjutnya, Gus Yahya sendiri sangat irit berbicara dan menulis tentang dirinya sendiri sehingga masih cukup sulit untuk menemukan ulasan yang cukup lengkap tentang kepribadiannya. Buku ini salah satunya dimaksudkan untuk mengimbangi kekurangan tersebut.
Dalam penulisan buku ini, Septa diilhami oleh C Wright Mills tentang hubungan timbal balik antar sejarah (history) dan biografi (biography). Dua-duanya memiliki peran penting. Sejarah dibentuk oleh aktor-aktor dan sebaliknya sejarah sebagai struktur sosial yang lebih besar juga membentuk aktor.
Disisi lain, Septa mencoba untuk menghadirkan konteks yang lebih besar untuk melihat bagaimana struktur tersebut membentuk Gus Yahya dan sebaliknya, bagaimana Gus Yahya sendiri terlibat dalam usaha membentuk sejarah.
"Dan yang pasti, Buku ini terwujud atas dorongan dan kontribusi banyak pihak, terutama Gus Yahya yang telah bersedia untuk diganggu di tengah-tengah kesibukannya," pungkasnya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar