Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Melihat banyaknya pelanggaran yang dilakukan pengembang nakal sudah melewati batas antara lain pelanggaran hak-hak pekerja, konsumen (pembeli) serta merusak lingkungan, secara terang-terangan harus segera dihentikan. Dimulai dari tidak didaftarkan pekerja dalam BPJS dan Disnaker setempat, pemotongan upah, pelanggaran jam kerja, dan lain lain. Pelanggaran terhadap konsumen seperti tidak dilakukan PPJB, serah terima unit, AJB, pengembang kabur, iklan yang tidak sesuai dengan ijin bangunan dilakukan juga oleh pengembang asing.
Untuk itu, HKHKI mendesak pemerintah segera perbaiki pasal-pasal dalam Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) terkait aturan hunian dan Rusun, selanjutnya agar pemerintah segera keluarkan aturan tegas dan menghukum pengembang nakal yang merugikan pekerja dan masyarakat Indonesia.
Sejak awal tahun 2000 jumlah pengembang berkembang cukup pesat, termasuk developer asing yang ikut serta mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Namun, hal tersebut tidak diikuti dengan adanya aturan tegas, memiliki kepastian hukum dan cukup melindungi masyarakat Indonesia.
Pada tahun 2014, Kemenpera keluarkan daftar 60 developer/pengembang bermasalah. Pengembang tersebut masuk dalam kategori yang tidak taat hukum atau nakal. Tapi hingga 2021 jumlah kasus pelanggaran hukum tidak berkurang secara signifikan, malah bertambah.
"Tidak sedikit kasus-kasus properti yang terjadi di Indonesia, mulai dari proyek bodong yang mengatasnamakan Down Payment (DP), apartemen yang tidak kunjung dibangun padahal sudah dibayar lunas. Atau kasus kerusakan alam, tidak diberikannya alat keselamatan dan Kesehatan kerja, pelanggaran jam lembur dan lain lain. Hingga proses perizinan yang tidak dimiliki, malah konsumen dituduh berbohong dan tidak melengkapi persyaratan pembelian properti," kata Putri Mega Citakhayana, Pengurus HKHKI di Jakarta. Senin (13/12)
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum HKHKI Dr. Farida mengatakan, pelanggaran ini terkait 3 hal utama, yakni:
1. Melanggar hak-hak pekerja seperti: tidak diikutsertakan dalam BPJS, upah dipotong, pelanggaran tentang ketentuan PKWT dan pekerja harian, dan lain lain;
2. Melanggar Hak-hak Konsumen (pembeli): tidak dilakukan PPJB dan AJB, rusun tidak dibangun hingga perijinan yang berbeda dari yang dijanjikan.
3. Merusak lingkungan dan tidak melakukan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan Corporate Social Responsibility (CSR). Menggunakan alat dan materi yang merusak keseimbangan alam, melanggar hak masyarakat untuk menikmati area yang ramah lingkungan.
Untuk itu, kata Farida, HKHKI akan mendesak pemerintah untuk benahi aturan tentang UU Rusun, termasuk rumah hunian. Surat sudah dikirimkan ke DPR, Gubernur, DPRD Komisi D dan instansi pemerintah terkait lainnya, agar pemerintah segera memberi tanggapan positif, kami sertakan data dan bukti awal.
"Sebagai contoh, kasus mega proyek Meikarta yang diduga telah merugikan ratusan korban, Proyek kota yang berada dibawah naungan PT Lippo Karawaci Tbk dan PT Lippo Cikarang Tbk ini menuai banyak kontroversi baik dari lembaga pemerintah maupun Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) karena tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan bahkan sempat berada dibawah radar Indonesia Corruption Watch (ICW) karena dugaan suap perizinan," ungkapnya.
Kemudian, Farida menambahkan, PT Elite Prima Hutama (PT EPH) yang menjual apartemen dan Mall di Kota kasablanka juga memiliki masalah perijinan, diduga hingga sekarang belum bisa melakukan AJB padahal apartemen sudah dijual dan dihuni lebih dari 10 tahun. PT EPH telah diperintahkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali untuk menyerahkan unit, melakukan AJB dan bahwa PT EPH melakukan wanprestasi, namun secara terang-terangan PT EPH menolak untuk patuh hukum.
Begitu juga, lanjut Farida, Dugaan pelanggaran juga dilakukan oleh pengembang asal Jepang yang menjual apartemen dengan merek BRANZ, didaerah BSD, Simatupang dan Kuningan. HKHKI mendata adanya dugaan pelanggaran PT Tokyu Land Indonesia karena iklan yang disebar adalah“kondominium”, namun ternyata ijin yang dimiliki adalah Kondo Hotel (bukan kondominium). Ini masuk kategori pelanggaran serius karena pengembang incompliance. Direksi Tokyu berjanji pada pembeli akan membayar ganti rugi jika pihaknya telat serah terima, tapi ketika ditagih untuk tanda tangan PPJB pihaknya menolak membayar ganti rugi karena telat PPJB dan serah terima selama 3 tahun.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi HKHKI, Raditya, S.H menggarisbawahi bahwa perubahan terhadap
UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun dalam UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat seperti menghapus sanksi pidana, kewajiban dan perubahan sanksi bagi developer terkait pencantuman isi PPJB diubah menjadi sanksi administratif. Hilangnya sanksi pidana dalam angka 3 ini menyebabkan Developer bertindak semakin sewenang-wenang kepada Pembeli.
Pada saat ini, ujar Raditya, sebagian besar Pengembang mendirikan bangunan dengan dana dari pembeli/calon pembeli. Yaitu berupa uang yang disetorkan oleh pembeli, sehingga kemungkinan terjadinya gagal bangun cukup tinggi. Untuk mengindari hal tersebut, seharusnya Developer memiliki dana sendiri untuk membangun sarusun.
Menurut Raditya, pemerintah perlu menyusun aturan agar pengembang memiliki modal yang cukup untuk membangun sarusun dengan dananya sendiri. “Pelanggaran ini menjadi semakin masif dari tahun ke tahun, jumlahnya luar biasa,” ucapnya.
Asal tahu saja, Ketua Umum HKHKI mengajak seluruh masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dan melaporkan jika memiliki pengalaman, didalam keluarga atau teman, untuk melaporkan ke sekretariat HKHKI di email hkhki.indonesia@gmail.com (WhatsApp +62812-1282-0065).
"Hal ini penting untuk menambahkan data kami yang akan kami paparkan di DPR RI nanti. HKHKI akan bekerjasama dengan organisasi lain untuk mendorong keseriusan pemerintah dalam benahi aturan, seperti organisasi masyarakat perkawinan campuran, serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi lainnya," pungkasnya. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar