Dosen FISIP UI Sri Budi Eko Wardani selaku narasumber pada webinar tersebut menyampaikan, secara persentase jumlah perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu masih di bawah 30 persen.
“Ada kesenjangan antara kondisi objektifnya, di mana perempuan memiliki kontribusi yang besar tetapi sebetulnya peluang dan kesempatan perempuan untuk bisa tetap terlibat langsung di dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam penyelenggaraan Pemilu tampaknya masih perlu diperjuangkan,” kata Sri pada Minggu (10/10/2021).
Dalam paparannya berjudul “Isu Keterwakilan Perempuan dalam Seleksi Calon Anggota KPU dan Bawaslu”, Sri membeberkan, dari rentang tahun 2004-2019 keterwakilan politik perempuan terbilang stagnan atau belum mencapai target 30 persen. Bahkan di tingkat KPU/Bawaslu tingkat kabupaten/kota masih ada yang tidak memiliki anggota perempuan sama sekali. Untuk itu, proses yang adil diperlukan dalam pemilihannya.
“Proses untuk kebijakan publik itu diawali dengan siapa yang akan terpilih sebagai pemimpin, sehingga dia harus bisa mengatur seleksi kepemimpinan negara itu secara jujur, adil, demokratis, dan berintegritas,” ujarnya.
Ia menambahkan, ada lima tantangan keterlibatan perempuan dalam kepemiluan, yakni sumber daya perempuan yang masih terbatas dalam mengisi posisi jabatan, pengetahuan kepemiluan yang masih kurang, pengalaman jejaring dan kepemiluan yang terbatas, proses seleksi yang netral gender, dan kepentingan politik yang masih kental.
Untuk itu, menurutnya, perlu ada upaya yang serius dan sistematis untuk mengubah kondisi agar perempuan dapat terlibat di dalam penyelenggaraan Pemilu dari hulu hingga hilir, dari rekruitmen hingga pemilihan.
Sementara itu, Dewan Pakar MIPI sekaligus Guru Besar Ilmu Politik Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Nurliah Nurdin menyampaikan, ketika terjadi pengabaian keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu baik di tingkat nasional dan daerah, akan muncul dampak negatif. Misalnya, akan muncul pengabaian terhadap kesetaraan gender yang telah diamanatkan undang-undang.
Fenomena seperti itu dinilai akan semakin mendorong maskulinisme politik. Hal itu juga dinilai akan mendorong turunnya partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik, serta turunnya akomodasi kebijakan kepemiluan terhadap kondisi perempuan dan anak.
“Mereka perlu pembelajaran-pembelajaran perlu program-program peningkatan kompetensi, kemudian juga perlu pengawalan proses seleksi KPU, dan melakukan revisi regulasi,” tandasnya. (Thal/Lak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar