Diskusi publik yang dipandu oleh Marissa Anita (Lead Editor Greatmind) sebagai host dan David Irianto (Co-founder Greatmind) turut menghadirkan dr. Celestinus Eigya Munthe, Sp.KJ, M.Kes (Direktur P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA), Rahma Anindita (Analis Pembiayaan Manfaat Kesehatan Primer, Kedeputian Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Primer BPJS), Sylvia Adriana (Survivor dan Lived Experience Expert), Andrian Liem (Peneliti Pascadoktoral Monash University Malaysia sekaligus Mitra Into The Light), dan Benny Prawira (Pendiri Into The Light).
Diskusi ini diadakan sebagai kelanjutan dari kegiatan survei yang hasilnya cukup mengkhawatirkan, di mana 98% partisipan merasa kesepian dalam sebulan terakhir dan 40% memiliki pemikiran melukai diri sendiri dalam dua minggu terakhir. Ditambah lagi, hasil survei juga menunjukkan bahwa literasi masyarakat Indonesia mengenai bunuh diri masih rendah.
“Kelompok-kelompok yang dimarjinalkan (disabilitas, non-heteroseksual, positif HIV), keinginan bunuh dirinya lebih tinggi dibandingkan bukan yang dimarjinalkan. Meskipun semua merasa kesepian, tapi pikiran untuk menyakiti diri sendiri & bunuh diri ada lebih banyak pada kelompok yang termarjinalkan, sehingga dibutuhkan cara yang lebih tepat untuk dikhususkan pada mereka,” jelas Benny Prawira.
Pada kesempatan yang sama, dr. Celestinus sebagai Direktur P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga menyetujui bahwa kesepian meningkat, terutama diakibatkan oleh isolasi aktif masyarakat karena pandemi Covid-19. Guna menjamin kesehatan mental masyarakat, ia menyampaikan bahwa Kemenkes sudah menyediakan aplikasi Sehat Jiwa yang bisa diakses masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan mental.
“Kita (Kemenkes) juga sudah mencoba mengaktifkan kembali hotline bunuh diri 119. Sehingga nantinya setiap rumah sakit jiwa memiliki link terhadap 119, sehingga ketika ‘panic button’ ini berbunyi, akan terhubung pada rumah sakit jiwa terdekat di mana orang tersebut berada,” kata dr. Celestinus.
Walaupun begitu, ternyata mendapatkan akses layanan kesehatan mental masih menjadi tantangan utama, bahkan sebelum pandemi. Hal ini dialami dan diceritakan oleh Sylvia Adriana, seorang penyintas bunuh diri.
“Ketika mencari bantuan tenaga kesehatan mental, awalnya pasti bingung, psikolog kok mahal, waktu dulu aksesnya masih sulit. Pernah mau pakai BPJS dan ke puskesmas tapi yang ada di sana dokter umum, bukan psikolog. Akhirnya, saya pakai uang sendiri dan dibantu dosen saya yang berlatar belakang psikologi,” tutur Sylvia.
Sementara itu, Rahma Anindita, Analis Pembiayaan Manfaat Kesehatan Primer, Kedeputian Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Primer BPJS menyatakan, sebenarnya masyarakat Indonesia dapat mengakses layanan kesehatan mental menggunakan BPJS Kesehatan dengan bantuan aplikasi Mobile JKN di gawai.
“Terkait dengan upaya bunuh diri dan melukai diri sendiri, mereka yang sudah didiagnosis mengalami gangguan kesehatan jiwa dapat ditanggung biayanya oleh BPJS Kesehatan, tetapi yang tidak memiliki diagnosis dari tenaga kesehatan jiwa, belum bisa mendapatkan layanan ini”, jelas Rahma.
Menyambung Rahma, Andrian Liem menegaskan pula bahwa penting untuk kita membiasakan diri menghindari stigma bunuh diri/gangguan kesehatan mental dan memberanikan diri untuk memeriksakan diri ke tenaga kesehatan mental. Ia mengingatkan bahwa hasil tes psikologis, apalagi swaperiksa, tidak bisa digunakan secara pasti untuk mendiagnosis gangguan mental sebab perlu diinterpretasi oleh ahli terlebih dulu.
“Swaperiksa adalah sebuah langkah pertama, namun tidak bisa dijadikan sebagai diagnosis, sehingga tetap harus datang ke tenaga profesional,” jelas Andrian.
Menutup sesi diskusi, Benny berpesan bahwa penting untuk saling bersolidaritas di keadaan yang sulit ini, termasuk untuk menjaga kesehatan mental masing-masing.
“Pencegahan bunuh diri ini tidak selalu tentang mencegah seseorang untuk mengambil nyawanya. Pencegahan bunuh diri itu dimulai dari menghargai kehidupan,” tutup Benny. (Arianto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar